Membaca ulang sebuah buku terjemahan karangan Simone de Beauvoir, tentang Perempuan yang Dihancurkan masih saja membuat saya terbawa emosi. Buku novel bersampul merah ini ternyata sudah berusia sekitar lima tahun sejak saya pinang dari salah satu toko buku di Jogja. Novel ini cukup sulit untuk saya pahami saat pertama kali membacanya, mungkin karena terjemahannya cukup memusingkan. Tapi hal itu terbayar dengan konteks buku yang sangat menggugah emosi.
Simone mengkisahkan tiga tokoh perempuan pada perjalanan hidupnya; menjadi istri sekaligus ibu dengan pelbagai persoalan mengenai suami, anak, karir dan masa depan. Kehidupan perempuan-perempuan pada novel ini terbentur oleh kenyataan bahwa dunia tidak atas kendali mereka sendiri.
Novel Perempuan yang Dihacurkan berhasil membuat saya seakan-akan berada pada posisi mereka, walaupun kenyataan saya belum married. Simone menjabarkan semua kisah dengan brutal. Marah, kecewa, sedih, rasa bersalah dan segala macamnya tersajikan pada bait ceritanya. Apakah menjadi seorang perempuan adalah sebuah masalah?
Konflik pertama berada pada bagian Masa Penuh Pilihan, suatu kekhawatiran tokoh perempuan menyoal usianya yang semakin tua. Saat usia muda ia melihat orang tua sebagai manusia yang tidak beguna (sampah), padahal ia saat ini sudah semakin tua dan tidak banyak hal yang ia bisa lakukan. Simone memaparkan sifat keras dan penuh ambisi seorang perempuan tua pada bagian ini. Perempuan ini merasa masih bisa mengendalikan orang-orang di sekitarnya demi memenuhi ego dan keinginannya.
Bagian selanjutnya adalah Monolog. “Monolog ini adalah bentuk balas dendamnya.” – Flaubert, dikutip Simone pada bagian awal pembuka. Bagian ini penuh dengan umpatan, makian dan kata-kata kasar lainnya. Tokoh perempuan ini memiliki banyak luka dan trauma di masa lalunya. Melampiaskan segala kebenciannya pada orang-orang yang ia temui.
Jujurly… Pada bagian kedua ini membuat saya sedikit puyeng. Harus membaca secara berulang untuk memahami keadaan perempuan yang dihadirkan oleh Simone ini. Tapi setelah saya memahaminya, tokoh perempuan pada bagian Monolog ini cukup tragis. Tidak ada yang bersedia untuk hidup sebatang kara dengan beban trauma yang menggunung.
Pada bagian penutup, The Woman Destroyed, tak kalah membuat saya tercabik-cabik emosinya. Simone menjabarkan kisah mengenai perempuan yang diselingkuhi suaminya. Huft… Perselingkuhan yang diakui oleh suaminya membuat derita lebih dalam dirasakan oleh tokoh perempuan. Hidup dibayang-bayangi oleh perempuan lain sangatlah menyiksa. Ia harus merelakan suaminya bertemu dengan perempuan yang tidak pernah ia kehendaki keberadaanya. “Dan perempuan yang sudah menikah tidak akan suka dengan para perempuan yang melakukan perselingkuhan dengan suami mereka” – Monique.
Simone de Beauvoir mengemas kisah panjang ini dengan sangat vulgar. Emosional dan psikologis tokoh perempuan dijabarkan secara detil. Tapi, ada poin yang menjadi kekurangan dari buku ini. Selain terjemahannya yang lumayan memusingkan, bagi yang tidak menyukai novel luar negeri akan dipusingkan dengan latar yang asing. Penyebutan tokoh juga terlalu acak, sampai-sampai saya kudu baca berulang supaya lebih paham betul.
Baca Juga: Review Novel Confessions, Awas Trauma setelah Membacanya!