Baru-baru ini ramai dibicarakan di media sosial tentang film Exhuma yang menggambarkan bagaimana upaya sekelompok dukun melawan roh jahat yang kuat. Sekalipun Korea Selatan adalah negara maju, tetapi eksistensi dukun dengan ilmu hitamnya masih berdampingan dengan kehidupan modern.
Kalau kamu pernah menonton deretan drakor, pasti tidak asing dengan praktik perdukunan Korea Selatan yang biasanya berada di lingkungan pedesaan terpencil. Mulai dari The Cursed, Cafe Minamdang, The Glory, Let’s Fight Ghost, The Guest, dan deretan judul K-Drama lainnya, dengan jelas menampilkan eksistensi shamanisme alias perdukunan begitu hidup di masyarakat Korea.
Tidak hanya masyarakat desa saja yang berbondong-bondong meminta pertolongan kepada dukun, bahkan para individu modern yang hidup di perkotaan pun turut bertindak sama. Meskipun Korea Selatan masuk ke daftar negara maju, tetapi praktik perdukunan ini benar-benar masih langgeng hingga detik ini.
Daftar isi
Masih Langgeng Di Masyarakat Korea Selatan
Banyak yang berpikir bahwa langgengnya praktik perdukunan di masyarakat modern Korea Selatan ini adalah karena sebagian besar masyarakatnya tidak memeluk agama apapun. Namun walaupun begitu, mereka begitu percaya akan praktik perdukunan ini dan bahkan menyerahkan urusan duniawi kepada para dukun.
Jika kamu sering menonton adegan perdukunan di beberapa K-Drama, pasti akan terlihat bahwa para ibu-ibu akan berbondong-bondong datang ke dukun terkenal. Setelah itu, mereka akan meminta ramalan tentang bagaimana masa depan, jodoh, hingga rezeki anaknya di masa depan. Tak berhenti disitu, mereka juga dengan rela merogoh kocek demi mendengar ramalan baik dari sang dukun.
Dilansir dari overseas.mofa.go.kr, ternyata praktik perdukunan di Korea ini sebenarnya berasal dari zaman dahulu, terutama bersumber dari agama animisme. Pada zaman Korea kuno, masyarakat akan mengadakan ritual perdukunan untuk tujuan menyembah dewa leluhur dan dewa langit.
Berhubung di zaman dahulu profesi para anggota masyarakat adalah petani, maka tentu saja selama ritual tersebut mereka akan berdoa supaya hasil panen berjalan baik. FYI, kunci stabilitas kehidupan pemerintahan dinasti pada masa tersebut adalah aktivitas pertanian.
Seiring berkembangnya zaman, seorang dukun tidak hanya berperan untuk “menghubungkan” doa antara manusia dengan langit, tetapi juga menenangkan arwah leluhur. Akhirnya, berbagai kepentingan duniawi pun biasanya langsung dikonsultasikan kepada dukun. Mulai dari tujuan untuk mencari keberuntungan, mendapatkan promosi pekerjaan, hingga jabatan politik sekalipun.
Pada tahun 2021, Yoon Suk-Yeol selaku calon presiden Korea Selatan saat tengah berpidato, pernah tertangkap kamera memiliki tulisan beraksara China “王” yang berarti ‘raja’ di telapak tangannya.
Dilansir dari haneulssem.com, praktik perdukunan kemudian menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat di tingkatan manapun. Ditambah lagi, eksistensi perdukunan ini sudah ada bahkan sejak agama Buddha, Konfusianisme, maupun Kristen datang ke Negara Ginseng ini. Alhasil, para orang tua pun lebih akrab dengan praktik tersebut dibandingkan agama-agama baru yang ada.
Sekalipun praktik perdukunan ini dibenci dan diremehkan oleh sebagian besar masyarakat modern, tetapi pemerintah justru mengakuinya sebagai “aset kebudayaan tak berwujud”. Buktinya, sejak tahun 2013 pemerintah telah mendirikan Museum of Shamanism (TMOS), suatu museum khusus yang lengkap dengan peralatan para dukun di kota Seoul.
Nah, atas dasar itulah keberadaan dukun memberikan pengaruh besar kepada masyarakat.
Terdapat Museum Khusus
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, di kota Seoul benar-benar ada museum khusus yang memamerkan segala piranti ritual perdukunan. The Museum of Shamanism (TMOS) ini didirikan pada tanggal 2 Mei 2013 yang kemudian menjadi museum pertama bertema perdukunan.
Usut punya usut, ternyata Museum Shamanisme ini didedikasikan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian tentang perdukunan.
Pendiri museum dukun ini adalah Yang Jong Sung yang sekaligus seorang kurator senior di The National Folk Museum of Korea dan juga anggota dewan ICOM-ICME. Setelah 3 tahun, pada 25 Mei 2016, lokasi museum dukun ini pindah ke rumah baru Yang Jong Sung di Geumseongdang Shamanic Shrine.
Semua instrumen, relik, artefak, hingga sisa-sisa peninggalan ritual perdukunan dipamerkan di museum ini. Yang Jong Sung menganggap bahwa segala hal tersebut justru merupakan warisan berwujud dan tidak berwujud yang menjelaskan bagaimana sejarah maupun budaya Korea.
Pengunjung juga berkesempatan untuk merasakan langsung bagaimana sih materi tentang perdukunan sekaligus mempelajari artefak-artefak yang ada. Setidaknya, ada 30.000 barang yang dipamerkan di Museum Shamanisme ini. Mulai dari lukisan dukun, pagoda, kostum para Mudang, berbagai peralatan dukun seperti cermin, tempat lilin, pembakar dupa, bunga kertas, alat ramalan, jimat, dan lainnya.
Praktik Perdukunan Sempat Diteror Pemerintah
Anehnya, praktik perdukunan ini dilihat dari 2 sisi yang berbeda. Ada yang mendukung secara terang-terangan, tetapi ada pula yang menentang.
Dilansir dari newworldencyclopedia.org, ternyata Pemerintah Korea Selatan (terutama sejak kemerdekaan dari Jepang) justru berupaya memberantas praktik perdukunan. Sayangnya, usaha tersebut gagal seolah tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern Korea Selatan.
Pemerintah Korea Utara juga melakukan kampanye pemberantasan perdukunan. Sekalipun pemerintah mereka totaliter, tetapi ternyata upaya tersebut gagal.
Pada tahun 1970-an, ritual-ritual perdukunan yang sebelumnya sangat dilarang justru bangkit kembali. Seringkali, para eksekutif perusahaan (terutama hotel dan restoran) yang hendak membuka cabang di tempat lain, pasti akan menyewa Mudang untuk melakukan penyucian bangunan barunya.
Pada akhir tahun 1980-an, pemerintah memprediksi bahwa semakin modern masyarakatnya, mereka pasti akan memilih psikiatri dibandingkan dukun. Alhasil, pemerintah berupaya memperluas fasilitas kesehatan terutama di bidang perawatan kesehatan mental. Namun ternyata, prediksi tersebut salah besar.
Yap, sebagian masyarakat Korea Selatan sekalipun telah hidup dengan teknologi mumpuni dan modern, mereka masih enggan untuk pergi ke psikiater untuk penyakit mentalnya. Mereka lebih percaya cara tradisional, yakni dengan datang ke dukun dan mengikuti ramalan.
Sumber:
https://www.britannica.com/topic/mudang
https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Korean_shamanism
http://www.shamanismmuseum.org/sub07/sub01.php
https://www.worldhistory.org/article/968/shamanism-in-ancient-korea/#google_vignette