Queen Charlotte: A Bridgerton Story adalah prekuel dari serial romansa Netflix terkenal Bridgerton yang bercerita tentang pandangan sosial dan gaya hidup para bangsawan di awal era regency. Jika dua musim sebelumnya menceritakan bagaimana love life keluarga bangsawan terhormat Bridgerton, cerita yang satu ini justru lebih berfokus pada pasang surut romansa sang Raja dan Ratu Kerajaan Inggris pada masa itu, Ratu Charlotte (India Ria Amarteifio) dan Raja George (Corey Mylchreest).
Seiring menonton series ini, ada beberapa hal menarik yang tertangkap mata. Sejumlah isu sosial dan kesehatan mental yang disajikan atraktif dan dibalut dalam romansa rumit Charlotte dan George menjadi topik bahasan yang sekiranya dapat menambah wawasan kita untuk lebih mengenal budaya pada masa itu.
Selain menambah pengetahuan umum tentang sosial budaya di Inggris, beberapa topik ini bisa dijadikan sebagai bahan menarik untuk tugas kuliah maupun bahan skripsi, lho! Apalagi kamu yang ada di jurusan sastra. Mungkin tidak semua adegan di dalam serial dengan 6 episode ini bisa dijadikan materi akademik, namun beberapa diantaranya cukup memikat hati untuk ditelusuri lebih dalam. Simak selengkapnya!
Baca Juga: A-Z Mitologi Slavia dari Rusia (Babak 1)
Isu Rasial

Pada episode pertama, Sophia Charlotte yang berasal dari Mecklenburg-Strelitz, Jerman Utara, ditakdirkan untuk menikahi Raja George III dari Britania Raya. Sesampainya disana, ibu Raja George, Princess Augusta (Michelle Fairley) memeriksa keadaan fisiknya, dari mulai badan hingga gigi. Bagian herannya adalah ketika Princess Augusta mencoba menghapus tahi lalat dibawah mata kiri Charlotte menggunakan ludahnya, seolah itu kotoran.
Bahkan Princess Augusta berkata kepada para Dewan Bangsawan, “Dia sangat cokelat, kau tidak bilang bahwa ia secokelat itu. Sangat cokelat.”
Lord Bute sempat ingin menolak ketika Princess Augusta menyarankan untuk mengundang kaumnya Charlotte (bangsawan kulit hitam) ke pernikahan. Disisi lain, banyak para bangsawan kulit hitam yang tidak menyangka bahwa salah seorang dari mereka akan menjadi istri dari pemimpin Kerajaan Inggris, termasuk Lady Danbury (Arsema Thomas). Mereka bahkan menyebutkan pernikahan antar ras ini sebagai The Great Experiment atau Eksperimen Besar. Di sisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa pada masa itu, kelompok manusia dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kulit putih dan kulit hitam. Dan tidak pernah sebelumnya terjadi pernikahan antar ras.
Di salah satu adegan ketika Princess Augusta menyimpulkan bahwa Lady Danbury menginginkan uang, saat sedang bernegosiasi perihal informasi yang ada di Buckingham Palace. Lady Danbury langsung menyangkal bahwa mereka sudah kaya raya, dan berkata,
“Yang kubutuhkan adalah agar suamiku tidak ditolak masuk ke tempat kulit putih. Aku ingin suamiku diajak berburu. Aku ingin pergi ke penjahit terbaik, dan menempati tempat terbaik di opera. Kami ingin dianggap setara.”
Dari sini kita bisa lihat bahwa strata antara kulit putih dan kulit hitam tidak setara pada masa itu. Bangsawan kulit putih jauh berada diatas rata-rata, merasa lebih unggul dari kulit hitam yang biasanya tidak disambut ramah.
Dalam beberapa adegan lainnya, kita bisa menemukan segelintir kalimat satir atau remeh yang dikemukakan oleh para bangsawan kulit putih. Seperti ucapan ibu dari Violet, “Aku tahu mereka memiliki uang, tapi uang tidak menjadikan mereka seperti kita.” Atau ketika ia berbicara kepada Lady Danbury, “Aku menerima undangan pesta dansa kecilmu. Maaf tak bisa hadir. Kami semua, bukankah begitu?” dan para bangsawan lain ikut bersahut, “Sayang sekali, mungkin lain kali.”
Deskriminasi Gender

Ketika Charlotte dalam perjalanan menuju kerajaan Inggris, kakak laki-lakinya, Adolphus protes bahwa ia tidak bergerak sama sekali selama enam jam. Charlotte menjelaskan kerumitan gaun mewahnya yang terbuat dari safir india dan renda berusia 200 tahun dengan rangka gaun dan korset tulang dari paus yang rapuh dan tajam, sehingga membatasi pergerakannya.
Mengingat saat tiba di Inggris, ia harus tetap terlihat cantik dan sempurna, “Betapa senangnya menjadi wanita,” tuturnya sarkas. Ini menunjukkan bagaimana masa itu memperlakukan wanita layaknya karya seni, indah untuk ditampilkan namun bak barang yang tidak lagi menarik jika cacat sedikit. Seakan kecantikan wanita tidak boleh ada sedikitpun kekurangan. Berbeda dengan pria yang bagaimanapun akan dipandang sempurna sebab pria lah yang memimpin dunia.
Gambaran lain tentang bagaimana sikap dan tingkah laku wanita dibatasi ada di lain adegan. Violet muda dikritik oleh ibunya sendiri karena terlalu banyak berpikir tentang segala opini. Yang mana seharusnya wanita itu tidak diizinkan untuk bersuara terlalu banyak, tak diwajarkan untuk memiliki pikiran luas maupun kritis.
Hal ini ditunjukkan juga ketika Princess Augusta sengaja membuat alasan kepada Dewan Bangsawan dengan kalimat, “Aku tidak mengingat nama, aku seorang wanita.” Dapat disimpulkan wanita dinormalisasikan sebagai figur yang mempunyai pikiran dan ingatan pendek, yang tidak bersekolah tinggi dan kapabel melakukan apa yang normalnya dilakukan pria.
Tabunya Gangguan Kesehatan Mental

Mungkin hingga sekarang pun, kesehatan mental masih sering menjadi bahan adu mulut antar dua pihak yang bertentangan; sekelompok orang yang menganggap kesehatan mental itu penting, dengan sekelompok orang yang bahkan tidak percaya akan itu.
Kelompok yang kontra biasanya menganggap bahwa kondisi seseorang tak ada hubungannya sama sekali dengan kesehatan mental. Kesehatan mental hanya didasari oleh doktrin dari luar pikiran atau sakit secara fisik hingga bisa mempengaruhi pikiran. Jenis orang-orang yang berpikiran seperti inilah yang dijabarkan pada masa itu di series ini.
Raja George memiliki gangguan kesehatan mental yang dipengaruhi oleh tekanan dari tugas yang dilimpahkan sebagai seorang raja. Ia menginginkan kesejahteraan rakyat lebih dulu daripada menikah. Dalam satu adegan, dokter-dokter profesional berkumpul untuk memberi solusi pengobatan George. Ada yang berpendapat bahwa George mengalami peradangan otak kecil, gangguan pada kaki, masalah pada perut dan diet, namun ketika salah seorang dokter mengemukakan bahwa George punya masalah pada jiwa dan pikirannya, dokter tersebut diprotes.
Dianggap berkhianat
Dr. John Monro dianggap berkhianat, karena mengklaim raja mengalami gangguan jiwa. Karena jika seorang raja tidak waras, maka ia kehilangan takhta. Dr. John menyatakan bahwa George mengalami disorganisasi saraf, yang terbukti sembuh hanya dengan berbicara. George kembali normal hanya dengan suara dukungan yang menjelaskan posisinya saat ini.
“Sadarlah, Anda adalah Raja Inggris. Ada ribuan orang yang siap mati untuk Anda. Anda juga bisa berkuasa atas diri Anda sendiri.”
Sepanjang series, George juga mengklaim dirinya sendiri sebagai pria gila yang tidak seharusnya dicintai dan tak layak menjadi raja. Menurutku, tidak hanya pada masa George III berkuasa, pada era modern seperti sekarang pun banyak yang menganggap bahwa kesehatan mental tidak penting dan mereka para penderita tidak layak menjadi sosok yang perlu dirangkul atau dicintai.
Pada era sekarang, tak sedikit juga yang mencibir penderita gangguan mental yang rutin ke dokter jiwa. Sebagian menganggap mereka lemah, cari perhatian, dan sebagian lagi menganggap mereka memalukan segenap keluarga karena mereka gila.
Walaupun begitu, tidak sedikit juga sekelompok orang yang melek akan kesehatan mental. Mereka memperjuangkan hak hidup para penderita dengan cara menghapuskan stereotip yang melekat bahwa orang dengan gangguan mental adalah orang gila yang memalukan. Padahal yang memperparah kondisi mental seseorang sampai fatal adalah opini dan kebencian dari orang-orang yang kontra.
Tak ada dukungan yang bisa merangkul mereka untuk sembuh. Maka para penderitanya sendiri pun mulai mengedukasi generasi muda untuk bisa menjadi sosok yang lebih aware lagi akan isu kesehatan mental.
Meski jarang ada yang menganggap berbicara, saling mendengarkan dan memberi dukungan adalah solusi realistis, itu tetap bekerja baik bagi pikiran dan merupakan salah satu yang dibutuhkan untuk mereka penderita gangguan mental.
Pasang Surut Pernikahan

Dikarenakan segelintir problematika yang muncul berkaitan dengan penyakit yang dialami George, pernikahannya dengan Charlotte pun mengalami banyak ketegangan dan pasang surut perasaan dari keduanya.
Menurutku, kisah cinta mereka ini sangat menarik untuk dijadikan hiburan maupun suatu bahan untuk penelitian dengan teori tentang rumah tangga, karena mengalami banyak fase dalam perjalanan mereka selama menikah. Yang awalnya saling jatuh hati, lalu tiba-tiba salah paham dan berbaikan.
Berada di fase saling jatuh hati namun ditutupi amarah, berbaikan lagi, saling menghindar satu sama lain, lalu bersatu kembali. Cukup banyak hal yang menarik interes hati, entah bagaimana setianya Charlotte terhadap George, atau bagaimana George sebegitu mencintai Charlotte di dunia ini.
Salah satu percakapan George dan Charlotte yang terkenal di series ini dan berhasil meluluhkan segenap hati penonton;
“I will stand with you between the heavens and the Earth. I will tell you where you are. Do you love me?” – Charlotte.
“I love you! From the moment I saw you trying to go over the wall.. I haved love you desperately, I cannot breathe when you are not near. I love you, Charlotte. My heart calls your name.” – George.
Bagiku, layaknya Romeo dan Juliet, kisah George dan Charlotte tak kalah mengiris hati. Meski tak bisa dibandingkan dan karena George-Charlotte memiliki kisah yang bertolak belakang, namun cerita mereka cukup menghibur dan memberikan esensi haru yang luar biasa.
Tak dipungkiri juga para aktor yang bermain peran patut diacungi ribuan jempol akan kewatakan peran yang mereka perankan hingga berhasil membuat jutaan penonton di belahan dunia manapun mencintai series ini. Ini menjadi salah satu fiksi romansa favoritku sepanjang masa, dan akan selalu menjadi tontonan yang tak pernah membosankan untuk meluluhlantakkan segenap hati para pemirsa.
Baca Juga: A-Z Mitologi Slavia Dari Rusia [Babak 2]