Ngomong-ngomong soal mitologi Slavia, konon memang keberadaannya berakar dari mitologi Yunani dengan berbagai nama dan kekuatan dewa-dewinya. Meskipun ini hanya sebatas mitologi yang berisikan mitos dan legenda dari sebuah peradaban, tetapi masih dipercaya oleh masyarakat modern hingga saat ini.
Apakah Mitologi Slavia Terinspirasi Dari Mitologi Yunani?
Dilansir dari nationalgeographic.grid.id, ternyata mitologi Slavia memiliki beberapa kesamaan lho dengan mitologi Yunani, khususnya pada karakter dewa-dewi mereka. Salah satunya adalah dalam mitologi Yunani terdapat karakter putri duyung alias Siren yang ternyata memiliki kesamaan sebelas-dua belas dengan karakter Sirin dari mitologi Slavia.
Jika melihat pada Wikipedia.org, keberadaan mitologi Slavia justru kemunculannya lebih awal dibandingkan dengan mitologi Yunani. Hal tersebut karena mitologi Slavia berasal dari Mitologi Proto-Indo-Eropa yang terjadi selama Zaman Perunggu.
Nah, barulah pada Zaman Besi, muncul mitologi Yunani yang beriringan dengan mitologi Romawi. Namun meskipun demikian, masyarakat dunia lebih familiar dengan mitologi Yunani dan bahkan diabadikan dalam beberapa karya sastra.
7 Kesamaan Karakter Dewa-Dewi Dalam Mitologi Slavia dan Mitologi Yunani
Dewa Perun – Dewa Zeus
Jika dalam mitologi Yunani terdapat Dewa Zeus sebagai pimpinan tertinggi para dewa-dewi, maka dalam mitologi Slavia pun terdapat Dewa Perun.
Dalam mitologi Baltik, Dewa Perun disebut sebagai Perkunas.
Menurut bangsa Slavia, Dewa Perun dianggap sebagai ‘Supreme God’ atau ‘The Higher God’ dengan itentitas ‘yang terkaya’ dan ‘yang berkuasa. Yap, Dewa Perun menjadi penguasa langit sekaligus dewa petir dan dewa guntur.
Menurut culture.pl, Dewa Perun begitu dipuja-puji oleh masyarakat yang menempati wilayah Slavia terutama Slavia Timur. Kala itu, wilayah Slavia dipimpin oleh Pangeran Vladimir yang sangat memuliakan Dewa Perun.
Buktinya, Pangeran Vladimir memerintahkan para rakyatnya untuk mendirikan patung berhala untuk aktivitas pemujaan Dewa Perun di luar istana Kiev. Patung-patung berhala Dewa Perun ini sebagian besar terbuat dari kayu yang kemudian dilapisi dengan perak. Sementara itu pada bagian kepala dan kumis berupa emas.
Pada tahun 988, patung Dewa Perun masih dianggap setara dengan Tuhan Kristen. Perlu diketahui bahwa pada masa tersebut, wilayah Slavia telah dimasuki oleh pasukan Denmark sehingga penyebaran agama Kristen pun cukup meluas.
Tak berselang lama, Pangeran Vladimir pun mulai menganut agama Kristen. Alhasil, Beliau memerintahkan kembali untuk memusnahkan berbagai patung-patung berhala, tak terkecuali patung Dewa Perun. Rata-rata, patung-patung berhala tersebut dibuang ke Sungai Dnieper.
Di sisi lain, mitologi Yunani juga memiliki sosok dewa tertinggi yakni Zeus. Konon, Dewa Zeus tinggal di Gunung Olimpus dengan berperan sebagai dewa langit dan petir.
Penggambaran Dewa Zeus lebih bervariasi, tidak sebatas sebagai dewa tertinggi saja tetapi juga sebagai dewa penjaga sumpah hingga dewa pelindung perdagangan. Legenda tentang asal-usul Dewa Zeus-pun juga lebih jelas yakni anak dari Kronos dan Rea.
Berkaitan dengan pemujaan masyarakat Yunani, Dewa Zeus yang dikenal sebagai dewa langit ini memiliki festival pemujaan di setiap wilayah. Mulai dari pemujaan di Pulau Kefalonia hingga di kota Sparta.
Dewa Veles – Dewa Hermes
Selanjutnya adalah Dewa Veles (atau juga sering disebut sebagai Volos) menjadi dewa terpenting kedua dalam mitologi Slavia. Dewa Veles dianggap sebagai dewa kekayaan dan dewa kemakmuran.
Hampir sama, para petani Slavia pun menganggap Dewa Veles sebagai dewa ternak karena menjadi dewa pelindung para petani dan mensejahterakan hasil panen.
Sayangnya, Dewa Veles seringkali dianggap sebagai karakter antagonis bagi dewa Perun. Hmm… dapat dikatakan bahwa ini seperti persaingan antara 2 dewa tertinggi yang berlawanan satu sama lain.
Identifikasi tersebut dapat dilihat dalam sebuah cerita rakyat Ceko yang muncul di abad ke-16. Pada cerita rakyat tersebut, termuat sebuah frasa berupa ‘Jdi za moře k Velesu’ yang diterjemahkan sebagai ‘Seberangi laut menuju Veles’. Usut punya usut, ternyata frasa tersebut memiliki makna ‘pergi ke iblis!’
Usut punya usut, sebelum Vladimir Agung masuk agama Kristen, Beliau pernah memuja setidaknya 7 dewa (termasuk Dewa Perun), tetapi tidak ada satu pun patung Dewa Veles.
Pemujaan patung Dewa Veles justru banyak ditemukan di dataran yang ada di dekat pasar. Itulah mengapa, Dewa Veles juga sering dianggap sebagai dewa pelindung perdagangan.
Lalu jika menilik pada mitologi Yunani, eksistensi dewa penggembala dan dewa ternak dipegang oleh Dewa Hermes. Peradaban Yunani percaya bahwa Dewa Hermes membawa keberuntungan besar terutama bagi para pedagang.
Keberadaan Dewa Hermes yang juga dikenal sebagai Merkurius dalam Mitologi Romawi ini turut dianggap sebagai Dewa Atletik bagi olahragawan.
Konon, Dewa Hermes mampu membantu para roh untuk menemukan jalan mereka menuju dunia bawah. Alhasil, hanya Dewa Hermes dan 4 dewa lainnya yang memiliki tiket ‘eksklusif’ untuk sering bolak-balik ke dunia bawah.
Dewa Hors – Dewa Helios
Dalam Mitologi Slavia, eksistensi Dewa Hors melambangkan matahari yang bahkan namanya pun turut muncul dalam buku berjudul Chronicle of Nestor (850 – 1110 M), sebuah kronik asal Kiev, Ukraina, hasil tulisan dari biarawan Nestor.
Ada sebuah kota kecil bernama Korsun di Ukraina yang menggunakan nama belakang ‘Horsun’ untuk menghormati keberadaan Dewa Hors sebagai dewa sinar matahari.
Sayangnya, jarang yang tahu tentang Dewa Hors ini, sehingga informasi mengenainya tidak banyak diketahui. Namun, ada sosok dewa dalam Mitologi Slavia yang sama-sama melambangkan matahari, yakni Dewa Dažbog.
Dewa Dažbog ini telah disembah oleh Pangeran Vladimir yang saat itu memimpin wilayah Kievan Rus dan dianggap sebagai nenek moyang dari bangsa Slavia. Masyarakat Slavia percaya bahwa Dewa Dažbog itu melintasi langit menggunakan kereta perang ditarik oleh 4 kuda bersayap emas.
Setiap hari, tepatnya saat pagi dan sore, Dewa Dažbog akan menyeberangi lautan dengan perahu yang ditarik oleh beberapa angsa maupun bebek liar. Itulah mengapa, masyarakat Rusia memiliki keyakinan untuk tidak membunuh angsa karena dianggap sebagai hewan suci.
Di sisi lain, eksistensi Dewa Hors sebagai perwujudan dari matahari juga dimiliki pula dalam Mitologi Yunani, yakni Dewa Helios. Dewa Helios sering digambarkan sebagai sosok dewa dengan mahkota yang sinarnya berasal dari sinar matahari.
Rutinitasnya setiap pagi adalah melintasi langit menggunakan kereta yang dijalankan oleh 4 ekor kuda, kemudian baru lah kembali ke kerajaannya. Dibandingkan dengan dewa-dewa Yunani lainnya, keberadaan Dewa Helios memang jarang dikenal.
Berkat seorang Kaisar Romawi yakni Kaisar Julian, akhirnya Dewa Helios mulai dikenal peradaban terutama dalam praktik pemujaan pada abad ke-4 M. Semenja itu, Dewa Helios sering muncul dalam berbagai karya sastra puisi hingga mitologi Yunani.
Dewa Helios yang merupakan dewa matahari, dipercaya oleh banyak kalangan sebagai saksi yang dapat melihat segala hal di muka bumi. Atas hal tersebut, Dewa Helios sering dipanggil dalam pengucapan sumpah.
Dewi Lada – Dewi Aphrodite
Dewi Lada adalah dewa perempuan yang muncul dalam Mitologi Slavia, sebagai dewi cinta (kekasih, pasangan, pernikahan, keluarga, wanita, dan anak-anak) sekaligus dewi musim panas atau panen.
Nama Dewi Lada sering muncul dalam lagu-lagu rakyat Rusia sebagai dewi cinta dan pernikahan.
Sayangnya, informasi tentang Dewi Lada dalam Mitologi Slavia tidak terlalu banyak ditemukan. Namun jika menilik pada Mitologi Yunani, keberadaannya sering disamakan dengan Dewi Aphrodite selaku dewi kecantikan, cinta, hingga seksualitas.
Dewi Aphrodite digambarkan sebagai sosok yang sangat cantik dan bahkan para dewa lain takut akan adanya perpecahan di dunia dewa karena kecantikannya. Alhasil, Dewi Aphrodite dinikahkan dengan Dewa Hefaistos selaku dewa pemahat dan gunung berapi. Siapa sangka jika Dewi Aphrodite yang sangat cantik itu justru memiliki banyak kekasih, bahkan salah satunya adalah manusia bernama Anchises!
Jika dalam Mitologi Romawi, Dewi Aphrodite lebih dikenal sebagai Venus.
Baba Yaga – Charon
Dalam Mitologi Slavia, terdapat karakter yang bukan dari kalangan dewa melainkan lebih dianggap sebagai sosok monster jahat, yakni Baba Yaga. Kata “Baba” diartikan sebagai ‘nenek tua’, sementara kata “Yaga” diartikan sebagai ‘pemalas’.
Keberadaan Baba Yaga lebih dikenal sebagai sosok nenek tua berwajah jelek yang dapat terbang kesana-kemari untuk menculik anak-anak manusia, kemudian memakan mereka. Diceritakan pula bahwa Baba Yaga tinggal di sebuah gubuk kecil di dalam hutan lebat.
Di Indonesia, kisah Baba Yaga lebih mirip dengan Mak Lampir ya….
Ciri khas yang dimiliki oleh Baba Yaga adalah dirinya dapat terbang dengan alat berupa lesung, selalu memegang palu, dan tinggal di gubuk dalam hutan lebat. Namun siapa sangka, justru karakter Baba Yaga dianggap lebih terkenal dibandingkan karakter dewa-dewi sebelumnya.
Buktinya, Baba Yaga sering ditampilkan pada budaya populer seperti dalam serial film John Wick, video game Dungeons & Dragons, komik Hellboy, sekuel film Hellboy II: The Golden Army, hingga buku berjudul The House With Chicken Legs karya Sophie Anderson.
Dilansir dari nationalgeographic.grid.id, Baba Yaga melambangkan dunia orang mati dan selaku penjaganya. Itulah mengapa, rumahnya berada di tengah hutan lebat untuk menggambarkan perbatasan antara 2 dunia yakni dunia orang mati dan dunia orang hidup.
Nah, atas dasar hal itulah dalam Mitologi Yunani juga ada karakter penjaga dunia orang mati yakni Charon. Namun, kondisi fisik antara Baba Yaga dengan Charon sangat berbeda.
Jika Baba Yaga adalah seorang nenek tua, Charon justru digambarkan sebagai lelaki yang selalu menggunakan perahunya untuk menyeberangkan arwah orang-orang mati dengan bayaran berupa koin perak Yunani.
Para arwah yang tidak punya koin tidak diizinkan menyeberang dan harus menunggu di tepi sungai Akheron selama ratusan tahun lamanya. Itulah alasan mengapa masyarakat Yunani Kuno selalu menyelipkan sekeping koin di mulut jenazah sebelum dikubur lebih lanjut.
Sirin – Siren
Jika melihat pada arkhorton.com, menjelaskan bahwa sebelum peradaban Slavia berpindah keyakinan menjadi agama Kristen, mereka tidak percaya adanya Taman Eden yang dijelaskan dalam Alkitab. Mereka lebih percaya adanya Pulau Buyan yang diisi oleh para dewa dan makhluk mitos, diantaranya Sirin dan Alkonost.
Pada dasarnya, Sirin dan Alkonost itu bagaikan dua hal yang berlawanan satu sama lain, meskipun keduanya sama-sama berwujud wanita cantik. Sirin lebih menguasai waktu malam hari, sementara Alkonost menguasai waktu siang hari.
Dalam Mitologi Slavia, Sirin adalah makhluk mitos berupa burung hantu dengan kepala wanita cantik alias wanita setengah burung. Keberadaan Sirin selalu dikaitkan dengan hal-hal jahat, kesakitan, dan kesedihan, sehingga kehadirannya menjadi pertanda kematian. Siapapun yang mendengar suaranya, maka orang tersebut akan meninggal dalam waktu dekat.
Warna bulu pada Sirin adalah hitam sehingga dianggap sebagai pesan atas adanya kematian. Terlihat 11 12 dengan warna hitam pada bulu burung gagak.
Nah, dalam Mitologi Yunani pun memiliki karakter yang mirip dengan Sirin ini yakni Siren, tetapi lebih digambarkan sebagai sosok putri duyung. Namun sebenarnya, sosok Siren ini awalnya diceritakan memiliki bentuk berupa burung berkepala manusia, sama seperti Sirin dari Mitologi Slavia.
Seiring berjalannya waktu, terutama pada masa Yunani Klasik, penggambaran karakter Siren berubah menjadi putri duyung. Alhasil, hingga saat ini pun makhluk Siren sering diceritakan sebagai sosok putri duyung, tepatnya “gadis laut…dengan tubuh seorang gadis, tetapi memiliki ekor ikan bersisik.”
Baik Sirin maupun Siren, ketika keduanya mengeluarkan suara nyanyian, itu menjadi pertanda atas datangnya kematian.
Alkonost – Alcyone
Setelah membahas Sirin, tidak akan afdol jika tidak membicarakan tentang Alkonost, sebab keduanya bagaikan dua sisi mata uang koin.
Dilansir dari arkohorton.com, jika Siren adalah pembawa kematian dan menguasai waktu malam hari, maka Alkonost adalah utusan pribadi Tuhan dan menguasai waktu siang hari.
Wujud Alkonost lebih digambarkan sebagai sosok burung cendrawasih dengan bulu berwarna cerah. Semakin tua usia Alkonost, maka akan semakin terang warna bulunya. Suara Alkonost pun juga begitu indah dan biasanya bernyanyi tentang keindahan surgawi.
Banyak yang mengatakan bahwa suara Alkonost mampu mengakhiri perang apapun di dunia ini.
Nah, dalam mitologi Yunani juga ada sosok seperti Alkonost yakni Alcyone. Alcyone sendiri adalah putri Aeolus yang merupakan Dewa Angin Yunani. Dirinya hidup bersama sang suami, Ceyx, yang dielu-elukan oleh para dewa maupun manusia karena menjadi couple goals.
Sayangnya, Alcyone dan Ceyx sering merasa mereka bagaikan Zeus dan Hera. Alhasil, baik Zeus dan Hera pun marah pada mereka dan hendak menghukum pasangan sombong tersebut.
Suatu hari, ketika Alcyone dan Ceyx tengah berjalan-jalan menggunakan kapal, Dewa Zeus bertekad menghukum mereka dengan mendatangkan petir sehingga badai dahsyat menenggelamkan kapal mereka. Atas kejadian tersebut, Ceyx meninggal dunia dan Alcyone tidak terima ditinggal mati oleh sang suami.
Alhasil, Alcyone langsung menceburkan dirinya ke lautan alias bunuh diri. Para dewa di Olympus yang merasa kasihan atas keduanya, kemudian mengubah pasangan tersebut menjadi burung Halcyon alias burung Kingfisher. Konon, perwujudan Alcyone sebagai burung tersebut muncul saat siang hari dan menjadikan dunia penuh kedamaian.
Sumber:
Dragnea, M. (2013). Slavic and Greek-Roman Mythology, Comparative Mythology. Romanian Cultural History Review Supplement of Brukenthal. Acta Musei, 20.