Jembatan Tali
Mobil bersamaan penumpang menuju pada satu kota tuju.
Saat itu hanya aku seorang yang ada di mobil itu.
Curug pitu.
Selangkah demi selangkah kaki berjalan menanjaki jalan yang hampir 45 derajat ini.
Ku lihat banyak tangan yang bergandengan tuk kuatkan satu sama lain.
Ada juga yang hanya berpegang pada keteguhan jiwa dan Sang Maha Pencipta saja.
Sampai sana tak ada yang hendak aku jajaki.
Pasrah melangkahakan kaki yang membawanya entah kemana.
Mendorong dari tempat gelap gulita.
Membuka tirai jendela cahaya yang tertutupi oleh pepohonan yang ada.
“ada apa”.
“kenapa”.
Selalu menghujani isi kepala.
Buta Aksara
Rasa rasamu padanya tak bernyawa.
Apa apa yang di lontarkan tak bisa dengungan kabar untuk sampai kepadanya.
Hati terjebak pada sarang laba laba yang semakin meluas kesana.
Bintik hitam bercampur kuning menjamur semenjadi- jadinya.
Suara, aksara seolah dianggap bungkam tak di hiraukannya.
Rupa rupa penghianat selalu mengelilingi halusinasinya.
Nyatanya tak seperti apa yang ada dipikirannya.
Apakah boleh larut dan ikut campur dalam fantasinya?.
Keadaan memaksa memaklumi yang ada.
Bait Doa Tak Bernama
Riuhmu mengancam semua yang ada.
Menggenggam jiwa yang tak terasa ada.
Merampas apa apa yang pernah di lakukan bersama.
Rumputpun seolah ikut mengoyok arah mata angin yang ada.
Selalu menjadi garda pada arah yang tak semesinya.
Mengguncang rima yang tak bernada.
Menapik semua takdir yang sudah di depan mata.
Jiwa selalu percaya pada yang Esa.
Menjunjung agung yang selalu sangat dekat di hadapannya.