“Merokok, enggak merokok, akhirnya tetap mati juga,” jawab seorang rekan kerja ketika saya masih bersikap denial untuk berhenti merokok.
Saya salut dengan orang-orang yang merokok masih berolahraga, dan tidak memaksa orang lain untuk berhenti atau ikut menghisap benda adiktif tersebut. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri momen-momen dimana rokok dipertontonkan oleh jajaran selebritis favorit seperti, Lily Rose-Depp, Jenna Ortega, sampai figur publik lainnya di media sosial—membuat saya semakin merenung, “Apakah akhirnya wanita dihargai setara dengan pria karena berani merokok?”
Konsumerisme Mengincar Feminisme
Sebuah video biografi Audrey Hepburn yang menyiarkan beliau wafat karena kanker perut menyadarkan saya atas krisis identitas diri saat merasa tidak adil setiap melihat ketidaksetaraan masih terjadi antara wanita dan pria, sehingga tanpa sadar melakukan hal yang menyakiti diri sendiri. Pasalnya, kegiatan merokok di kalangan perempuan sudah terjadi jauh sebelum tahun 1960an.
Aksi menghisap gulungan tembakau di kalangan wanita berawal pada 31 Maret 1929, Bertha Hunt melangkah di Fifth Avenue membuat skandal karena menyalakan rokok. Pihak pers yang menyorot Bertha tidak mengetahui latar belakang sang penyuara hak kesetaraan wanita itu adalah sekretaris Edward Bernays, ahli ilmu propaganda dan pemasaran.
Edward direkrut George Washington Hill—Presiden American Tobacco Company yang gagal menjalankan kampanye berisi para wanita elegan mempromosikan rokok—untuk membantu dalam menyampaikan pesan kesetaraan wanita demi memperluas target pasar.
Memberontak Demi Identitas
Sepanjang sejarah, para perempuan Amerika telah memperjuangkan hak untuk memilih, kesetaraan upah, dan kendali atas tubuh sendiri. Namun, dengan kebebasan yang diperjuangkan dengan susah payah, muncullah pilihan: haruskah perempuan selalu memilih apa yang menurut orang lain tepat untuk mereka? Virginia Slims, merek rokok khusus wanita pertama dipopulerkan oleh Philip Morris di tahun 1968. Philip Morris menggambarkan perempuan cerdas, mandiri, kurus serta menyiratkan di kampanye bahwa merokok adalah bagian dari kehidupan wanita yang sehat.
Obsesi akan Heroin Chic membuat kaum muda baik perempuan dan laki-laki mendamba sosok kurus melankolis. Industri tembakau juga memusatkan fokus Philip Morris pada perempuan di negara-negara berkembang, dimana pendidikan dasar, terutama pendidikan tembakau, tidak ada. Secara numerik jumlah wanita merokok lebih banyak di negara berkembang.
Upaya “Dunia Tanpa Asap”
Secara global, penjualan produk rokok elektrik (vape) mulai mengurangi penjualan rokok. Namun, vape dapat dengan mudah membuat pengguna ketagihan dan pada akhirnya memberi efek berbahaya. Perdana Menteri Rishi Sunak mengatakan pada 29 Januari 2023 bahwa rokok elektrik sekali pakai akan dilarang sebagai bagian dari kampanye untuk memerangi penggunaan produk rokok di kalangan remaja. Pada tahun yang sama, Philip Morris International Inc. (PMI) dan British American Tobacco Plc (BMT) turut serta berkomitmen mengurangi penjualan rokok.
PMI telah menetapkan tujuan untuk memperoleh kurang dari sepertiga pendapatan penjualan rokok di tahun 2030. Sementara itu, BMT berfokus pada pengambilan setengah pendapatan dari produk non-pembakaran di Desember 2035 mendatang.
Wilayah Asia pun tidak luput dari usaha menyelamatkan generasi muda, di antaranya adalah Kerajaan Asia Selatan Bhutan melarang penjualan produk tembakau di tahun 2004. Namun, menjelang 2021 larangan tersebut dicabut dikarenakan adanya rokok selundupan dari India selama masa pasca pandemi. Untuk meredam produk ilegal, Bhutan kembali melegalkan penjualan rokok.
Baca Juga: Media dan Publik Menghancurkan Persahabatan Aktris It Girl, Clara Bow-DeVou