Siapa yang menyangka, tua bangka sepertiku ini sempat merasakan hidup di masa perdamaian. Peperangan kini sudah usai, banyak masyarakat yang bersuka cita dan mengadakan pesta di penjuru kerajaan. Banyak juga yang pada akhirnya melakukan prosesi pernikahan, ya apa yang lebih membahagiakan daripada menikah di masa perdamaian.
“ Kapten, apa kau sudah siap?”
“ Aku sudah bukan kapten kalian.”
Satu kalimat tersebut langsung membuat mereka jadi kurang ajar. Kini, regu pengintai yang aku pimpin telah resmi dibebastugaskan. Meski begitu, kami masih punya satu tugas terakhir.
“Kapten, apa kau bisa datang?”
Di tengah peperangan, ia menyodorkan surat undangan tersebut. Setelah aku buka ternyata itu sebuah undangan pernikahan. Akhirnya ada juga anggota kelompokku yang menikah. Meski kondisi saat itu sangat sulit, setidaknya kini kami mendapat motivasi tambahan untuk dapat segera menyelesaikan peperangan ini. Ya, aku dan anak-anak harus datang ke acara pernikahan tersebut.
“Kalian ingat apa janji kita kan? ayo jadi normal sehari saja.”
Regu pengintai sudah terkenal dengan tingkah lakunya yang abnormal. Ya, di kerajaan kami sering berbuat onar dengan menghabiskan ransum makanan pasukan lain, mengajak putra mahkota berkelahi, mengacaukan pesta ulang tahun tuan putri, dan masih banyak lagi. Namun, kami tak pernah dihukum berat karena ketika perang, peran kami benar-benar penting. Tak ada satupun orang yang mau mengambil peran tersebut selain kami.
Denting lonceng mulai terdengar, sepertinya kami datang tepat waktu. Setelah berusaha keras menjaga sopan santun. Kami akhirnya bisa duduk diam dan menyaksikan prosesi pernikahan. Sumpah setia dari kedua mempelai mulai terdengar. Seakan tak memperdulikan sekitar, pasangan baru itu pun terus tersenyum bahagia.
“Kawan, apa ini masih belum cukup?”
Gumanku perlahan sambil menengadah. Ya, sepertinya aku harus memastikannya dengan bertanya langsung. Pesta pun dimulai, kami semua sudah sekuat tenaga untuk tidak menghabiskan makanan yang disediakan. Ya, kami tidak boleh mempermalukannya. Setelah para tamu mulai lenggang, aku menghampiri pasangan baru tersebut dan mengucapkan selamat.
“Selamat atas pernikahannya, apa sekarang kau sangat bahagia?”
Wanita tersebut menatapku dengan senyuman manisnya dan mengangguk dengan antusias. Dalam hati aku mulai berkata.
“Dia bahagia kawan, lanjutkan istirahatmu. Nantilah, kapan-kapan aku akan menyusul.”
Setelah pergi, mereka semua mulai mendatangiku. Sangat aneh rasanya melihat anak-anak ini menjadi sopan.
“Bagaimana kapten?”
Aku hanya tersenyum dan mengacungkan jempol. Semua orang menghela nafas panjang. Kini tugas kami telah usai.
“Ayo pergi, kita harus melaporkannya dulu.”
Kami langsung bergegas kembali. Tanpa pikir panjang, kami langsung menuju ke tugu penghormatan di tengah kerajaan. Di tempat tersebut, dikelilingi makam para prajurit yang gugur ketika berperang. Dari sekian banyak nisan yang terlihat, ada satu buah yang sangat mencuri perhatian. Dengan warna merah menyala, nisan tersebut berada di barisan terdepan. Di atas batu tersebut tertulis, Morrigan Orlaith, wakil ketua regu pengintai dan ahli sihir api terbaik di Kerajaan Stelaria. Si konyol ini masih tak berubah walau sudah mati. Ia gugur di pertempuran terakhir setelah menyelamatkan panglima dari kepungan musuh dan menerobos masuk ke pusat komando lawan serta meledakkannya. Pengorbanannya tidak sia-sia, kami langsung melancarkan serangan balik dan sukses mendapatkan kemenangan. Seakan sudah tahu kalau ia akan gugur, di tengah pertempuran ia menyodorkan surat undangan kepadaku.
“Kapten, apa kau bisa datang?”
Dalam undangan tersebut tak tertulis namanya, yang tertulis hanya nama kekasihnya dengan nama pria lain yang tak pernah aku tahu sebelumnya.
“Ia gadis yang patuh, aku khawatir kalau ia dipaksa orang tuanya untuk menikah dengan lelaki tersebut. Jadi, apa kapten bisa memastikan hal tersebut? kalau ia bahagia, berarti itu memang sudah keputusannya.”
“Apa maksudmu? pastikan saja sendiri! aku akan menemanimu, kita akan pulang dari peperangan ini dan menanyakannya langsung, kenapa ia memutuskan untuk meninggalkanmu.
Ia tersenyum tipis. Setelah itu, ia menatapku dan berkata.
“Itu tidak perlu, selagi ia bahagia aku tak mengapa. Jadi, apa kapten bisa memastikannya untukku?”
“Bocah tengik, kita akan hidup, kita akan menang, urusan dia bahagia atau tidak ayo kita tanyakan bersama nanti.”
Itulah kali terakhir aku berbicara dengannya. Di depan batu nisan ini, aku dan anak-anak lain langsung duduk melingkar. Kami membawa beberapa makanan dan minuman dari pesta tadi dan memakannya bersama. Seolah ia masih hidup, kami mengajaknya membicarakan berbagai hal konyol yang dulu pernah kami lakukan bersama.
“Dia sangat bahagia, aku tadi sudah tanya langsung kepadanya.”
Angin mulai berembus pelan membelai kami semua. Sepertinya pesanku sudah tersampaikan padanya. Tua bangka sepertiku ini tidak pernah mengerti tentang cinta. Namun, setidaknya kini aku jadi tahu satu hal, walau terasa menyakitkan, cinta tetap akan membawa kebahagiaan.