Saya selalu punya kebiasaan membaca biografi penulis sebelum mengkhatamkan satu buku. Saya percaya bahwa suatu karya pasti tak jauh dari historis kehidupan penulisnya, entah fiksi maupun non-fiksi.
Namun, saya justru terkejut saat pertama kali membaca bahwa penulis buku ini, Ihsan Abdul Quddus, adalah orang yang konservatif.
Pasalnya, dari ulasan beberapa orang dan sinopsis yang tertera, novel ini menggambarkan tentang kisah pembebasan seorang perempuan. Bahkan, novel ini digadang-gadang memberikan kisah yang mendobrak kultur Mesir kala itu.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah mungkin seseorang yang konservatif mampu menuliskan suatu kisah tentang pembebasan perempuan? Ah, rasa penasaran saya jadi tergugah.
Hanya butuh waktu tiga hari untuk menghabiskan novel dengan tebal 200 halaman ini. Akan tetapi, tidak dengan perasaan geram saya yang tak kunjung mereda selama dua bulan lamanya.
Novel ini mengisahkan kehidupan tokoh utama perempuan, Si Suad, yang dikemas dalam perjalanan hidupnya sejak muda hingga berumur matang. Suad digambarkan sebagai perempuan yang penuh ambisi, suka berprestasi, dan mempunyai banyak mimpi. Dia adalah seorang aktivis yang sering bersuara untuk kesataraan para perempuan.
Selain cakap dalam ranah akademik dan menjadi seorang dosen, Suad juga seorang perempuan pionir di kancah politik Mesir. Dia sering mengikuti berbagai forum diskusi, organisasi, hingga demonstrasi. Oleh sebab itu, dirinya dikagumi banyak orang dan sangat dihormati.
Awal membaca buku ini, saya merasa kagum dan bangga sebab ada tokoh fiksi perempuan yang digambarkan begitu heroik dan indah. Sayangnya, perasaan itu hanya bersemayam pada 20 lembar pertama.
Sisi Lain Kehidupan Suad
Penulis menceritakan sisi lain dari kehidupan Suad sebagai perempuan yang berdaya. Suad dilukiskan sebagai ibu yang tidak becus memberikan cinta kepada anaknya, selalu bercerai di setiap pernikahannya, hingga merasa gagal menjadi seorang perempuan. Parahnya lagi, akhir dari novel ini justru menggambarkan Suad yang kesepian dan haus kasih sayang.
Penulis juga memberikan tokoh perempuan tandingan, yakni Samira. Berbanding terbalik dengan Suad, Samira digambarkan sebagai perempuan ibu rumah tangga yang lemah lembut, penuh cinta, dan berhasil melindungi bahtera rumah tangganya.
Dengan memberikan gambaran dua tokoh perempuan dengan kepribadian yang bertolak belakang, penulis seperti ingin menggiring narasi kalau perempuan yang ideal adalah tokoh Samira ini.
Sebaliknya, perempuan yang memilih berkarier seperti Suad dianggap melupakan kodratnya sebagai perempuan. Penggambaran sisi lain dari Suad inilah yang membuat saya geram ketika membacanya.
Penulis buku ini seolah-olah memberitahu pembaca bahwa perempuan yang memiliki mimpi dan karier adalah momok bagi dunia.
Penggunaan sudut pandang pertama dalam cerita semakin menggiring pembaca agar setuju dengan ide penulis. Oleh sebab itu, dari beberapa ulasan yang telah saya baca, hanya sedikit yang mampu menyibak sisi patriarkis dari novel ini.
Maka dari itu, menurut saya, citra pembebasan perempuan di novel ini adalah paradoks. Alih-alih membuat karya yang akan mendukung perjuangan aktivis perempuan di Mesir kala itu, novel ini justru menjadi bom atom bagi mereka.
Saya jadi teringat dengan ucapan Mbak Kalis Mardiasi, Fasilitator Kesetaraan Gender, yang mengatakan kalau laki-laki mengkisahkan perempuan kemungkinan biasnya akan besar. Dan, menurut subjektif saya, buku ini berkata demikian.
Bahkan, ada salah satu kawan saya yang nyeletuk, “Cih, penulis seperti suami yang egonya terluka,” tepat saat dirinya selesai membaca buku ini juga.
Buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca agar kalian juga bisa menelaah ketepatan review saya ini. Buat kalian yang sudah baca, gimana? Geram juga enggak? Hehehe.
Baca Juga: Review Buku Perempuan yang Dihancurkan: Apakah Menjadi Perempuan Adalah Sebuah Masalah?