Perkawinan anak sudah menjadi hal yang lazim di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Berdasarkan UU Perkawinan Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019 perkawinan dini merupakan segala bentuk pernikahan yang terjadi pada usia di bawah 19 tahun.
Di beberapa daerah yang jauh dari perkotaan, kasus perkawinan dini tidak jarang ditemukan, bahkan tidak sedikit pula di umur rentannya sudah menyandang status janda.
Kok bisa gitu?
Faktor yang mempengaruhi tingginya angka perkawinan anak, dikutip dari siaran pers Kemen PPPA, permohonan dispensasi perkawinan anak pada tahun 2021 tercatat 65 ribu kasus dan tahun 2022 tercatat 55 ribu pengajuan. Pengajuan permohonan menikah pada usia anak lebih banyak disebabkan oleh kehamilan di luar pernikahan. Ada juga orang tua rela menikahkan anaknya demi menyelamatkan finansial keluarga.
Apalagi kurangnya pemahaman akan kesehatan reproduksi juga menjadi salah satu faktor besar seseorang untuk tetap melegalkan perkawinan di usia anak. Pada penerapannya, masyarakat terlalu sering menganggap tabu menyoal pembahasan tentang kesehatan reproduksi yang sepatutnya sudah dikenalkan pada anak yang menginjakan usia remaja.
Pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi yang seharusnya menjadi tolak ukur anak dan remaja, tidak pernah benar-benar disosialisasikan pada masyarakat. Tidak sedikit masyarakat masih menganggap pendidikan seksual merupakan sarana untuk anaknya melakukan tindakan asusila.
Lantas, bagaimana soal perampasan hak pada anak?
Perkawinan anak telah mengancam hak-hak dasar yang dimiliki oleh anak.
Pada kasus kehamilan di luar perkawinan banyak dialami oleh siswi sekolah menengah, mayoritas dirampas hak dalam memperoleh pendidikannya. Sehingga, anak-anak memutuskan untuk berhenti sekolah kemudian menikah dengan kekasihnya. Apakah dengan pernikahan itu telah menjamin rasa aman pada anak? Entahlah, nyatanya masih ditemukan kasus perselingkuhan.
Lebih dari itu perkawinan pada usia anak juga memperlebar garis kemiskinan, sebab rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan finansial anak yang mempengaruhi pola asuh pada keturunannya.
Lebih mengerikan lagi, risiko kelahiran pada usia ibu yang belum matang mengakibatkan kelahiran bayi stunting, cacat hingga ancaman terserang kanker serviks. Perkawinan pada usia anak pula akan memperluas kasus kekerasan seksual yang kemudian menambah angka kasus KDRT.
Hak dilindungi dari eksploitasi dan hak tidak dipisahkan dari orang tuanya pun kemudian dirampas oleh adanya perkawinan anak. Pada umumnya, anak masih memiliki sifat labil sehingga rentan menjadi korban para pedofil.
Demi mengurangi angka perkawinan pada anak kita tidak hanya bisa mengandalkan pemerintah. Jika memang sosialisasi dari pemerintah belum sepenuhnya menyentuh semua lapisan masyarakat, ada baiknya kita membantu untuk mengurangi angka perkawinan pada anak dengan memberikan sedikit pemahaman-pemahaman mengenai segala risiko yang mengancam.
Baca Juga: 4 Rahasia Kedaulatan Pangan Masyarakat Boti
Referensi:
Arif Maulana, “Hari Perempuan Internasional, Fakta Tingginya Pernikahan Dini, dan Dorongan untuk Terus Berkarya”, (diakses dari https://www.unpad.ac.id/2023/03/hari-perempuan-internasional-fakta-tingginya-pernikahan-dini-dan-dorongan-untuk-terus-berkarya/ )
Erizka Permatasari, S.H., “Pengertian Pernikahan Dini dan Hukumnya”, (diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/pernikahan-dini-lt5b8f402eed78d/ )
Siaran Pers, “Kemen PPPA: Perkawinan Anak di Indonesia Sudah Mengkhawatirkan”, (diakses dari https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4357/kemen-pppa-perkawinan-anak-di-indonesia-sudah-mengkhawatirkan )