Kontributor: Rahel Siagian
Sosok Rebecca Klopper tampak terus menundukkan kepalanya selama menggelar kegiatan konferensi pers dalam rangka permintaan maaf terkait beredarnya sebuah video yang menyebabkan kegaduhan selama seminggu terakhir. Di sisi kirinya hadir pula Fadly, sang kekasih yang memasang wajah tanpa senyum. Walaupun berani memandang ke arah awak media dan berusaha terlihat tegar, orang yang melihatnya pasti akan berasumsi bahwa Fadly hanya “berpura-pura saja”. Siapa yang mau ditimpa oleh isu tidak mengenakkan seperti ini?
Meski begitu, kita patut bangga dengan keberanian yang dimiliki oleh wanita yang akrab disapa Becca ini untuk meminta maaf kepada publik karena merasa telah melakukan kesalahan. Padahal bila kasus ini ditinjau dari perspektif hukum, Rebecca adalah sosok korban. Yang seharusnya meminta maaf adalah orang yang mengedarkan video tersebut. Banyak netizen yang tiba-tiba menjadi si paling suci dan memojokkan Rebecca.
Baca Juga: Fenomena Perkawinan Anak di Indonesia yang Masih Menjamur
Dari sudut pandang orang awam, kasus ini mungkin terlihat tidak begitu serius, hanya kasus kebocoran video intim karena pemiliknya kurang hati-hati, atau karena temannya memiliki dendam pribadi pada Rebecca. Namun tidak dengan hukum dan konsep ketidaksetaraan gender yang menyebut kasus ini sebagai salah satu wujud kekerasan seksual secara online atau online gender-based violence yang selanjutnya dikenal dengan istilah revenge porn.
Revenge porn atau balas dendam dalam bentuk pornografi termasuk sebagai wujud kejahatan di dunia siber dimana pelaku menyebarkan konten intim milik seseorang tanpa persetujuan dari orang yang ada dalam video tersebut.
Yang perlu digarisbawahi dalam kasus ini serta kasus-kasus revenge porn lainnya, yakni sasarannya yang sebagian besar adalah wanita, berada di posisi sebagai korban, bukan pelaku karena dia tidak pernah menghendaki video pribadinya tersebar ke publik.
Hal ini juga diungkapkan oleh Buris (2014) yang menekankan bahwa individu yang merasakan dampak dari revenge porn secara langsung dapat diklasifikasikan sebagai korban karena dia menerima penghinaan, pelecehan, kekerasan sekaligus kehilangan privasi secara ekstrim akibat publikasi foto atau video seksual mereka (Tempelhoff, et al., 2016).
Ironisnya, tidak jarang upaya korban pelecehan seksual untuk mendapatkan keadilan hukum justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Mereka, kaum perempuan yang melaporkan ini kerap kali dipandang rendah, bahkan disalahkan karena dianggap sebagai salahnya sendiri.
“Salah sendiri pake celana pendek”, “salah sendiri keluar malam-malam”, dan salah-salah lainnya yang selalu saja dilimpahkan kepada perempuan. Perempuan seakan-akan dianggap sebagai sumber pemicu utama terjadinya masalah tersebut. Inilah mengapa dalam banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi, korban tidak berani untuk langsung menceritakan apa yang dialaminya karena takut disalahkan. Biasanya, kasus-kasus seperti itu butuh waktu bertahun-tahun untuk terungkap, hingga sang korban memiliki keberanian untuk mengungkapnya sendiri.
Saya pribadi merasa sangat bersimpati dan miris terhadap kasus yang menimpa Rebecca. Padahal pelaku dalam video itu bukan dirinya seorang. Ada sosok lain, yaitu laki-laki yang juga terlibat, tapi tidak banyak masyarakat yang peduli tentang siapa dia, hukuman seperti apa yang harus diterimanya, atau berusaha mencari identitasnya sebagaimana para netizen sibuk mengungkap identitas korban jika perempuan.
Dari kasus ini, kita seharusnya belajar untuk menjadi lebih peka pada dampak yang dirasakan oleh para korban revenge porn. Memang perbuatan yang mereka lakukan salah, namun kembali lagi, apakah hal itu bisa menjustifikasi kata-kata kasar dan pandangan merendahkan yang kita tujukan pada korban?
Baca Juga: 4 Rahasia Kedaulatan Pangan Masyarakat Boti
Referensi
- Runtu, E. (2011). PENEGAKAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN
- TERHADAP PEREMPUAN KORBAN ANCAMAN KEJAHATAN (REVENGE
- PORN) YANG TERJADI DI SOSIAL MEDIA). Lex Privatum. 9 (11), 179–189.
- Tempelhoff, Sarai, & Kirya, M. (2016). Gender, law and revenge porn in Sub-Saharan Africa: a
- review of Malawi and Uganda. PALGRAVE COMMUNICATIONS, 1–8.
- Istighfaroh, M. (2023). Sederet Fakta Konferensi Pers Rebecca klopper, Support Fadly Faisal hingga Aduan ke Komnas Perempuan. TribunHealth.com. https://health.tribunnews.com/2023/06/07/sederet-fakta-konferensi-pers-rebecca-klopper-support-fadly-faisal-hingga-aduan-ke-komnas-perempuan
Pernah terbit di https://medium.com/@rahelsiagian185/melihat-revenge-porn-dari-kacamata-kasus-rebecca-klopper-7b61c86da6a3