Perempuan yang bercerai sering menjadi sasaran cemooh masyarakat. Ejekan dan hinaan kerap menjadi makanan sehari-hari seorang janda. Janda selalu dianggap sebagai penggoda yang haus akan kasih sayang. “Jagain suamimu, nanti digodain janda!”, kalimat yang sering saya dengar saat duduk bersama ibu-ibu sekitar rumah.
Masyarakat sering kali mendiskreditkan janda. Mereka dianggap mudah dirayu, didekati, hingga dilecehkan. Hal ini sering saya temui di real life dan social media. As if society menempatkan janda pada kasta terendah.
Presepsi Buruk terhadap Janda
Kultur patriarki telah menciptakan perbedaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki. Ketidakadilan gender menyebabkan termarginalkannya perempuan. Tidak terkecuali seorang janda. Perempuan muda yang menyandang status janda kerap dibenturkan dengan anggapan tidak memiliki kepiawaian dalam menjaga keutuhan keluarganya.
Pada perempuan, status janda merupakan sebuah tantangan berat. Stigma mengenai janda di masyarakat selalu dipandang negative. Janda sering kali berada pada bargaining position ketika berhadapan dengan laki-laki. Mayoritas menganggap janda sebagai perempuan lemah dan tak berdaya. Terlebih janda dengan banyak anak. Apalagi janda yang masih berusia muda.
Stereotip mengenai ‘janda penggoda’ usually datang dari perempuan itu sendiri. Menikahi lelaki hidung belang memicu banyak sangsi. Akibatnya, janda menjadi korban kesalahpahaman antara pasangan lain.
Banyak perempuan menghindari perceraian. Status janda terlalu mengerikan. Sehingga tidak sedikit juga perempuan bertahan dihubungan rumah tangga yang toxic. Bagaimana perempuan dapat hidup dengan bahagia, apabila keputusan memilih dan menjalani hidupnya selalu menjadi gunjingan masyarakat?
“Menjadi anak seorang janda itu mengkhawatirkan.”, ucap kawan saya. Sering saya mendengar keluhan anak dari seorang ibu tunggal. Beberapa laki-laki sering berupaya mendekati ibunya. Dia khawatir bila itu akan memicu fitnah lain.
Nyatanya, tidak sedikit perempuan yang memutuskan untuk menyandang status janda kemudian menjadi perempuan yang mandiri dan berdaya. Menjalani hidup sebagai ibu tunggal dengan menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya.
Menciptakan Ruang Aman pada Janda
Tidak mudah menghadapi society yang sangat gemar berghibah. Namun, apa salahnya untuk mencoba menghilangkan stigma buruk terhadap janda. Bukankah menyenangkan apabila hidup berdampingan dengan saling menghargai hak dan kepustusan? Sebab, menjadi janda bukanlah sebuah keputusan yang gampang.
Masyarakat perlu dikenalkan terhadap realitas kehidupan janda. Pengenalan tersebut bisa dilakukan oleh elemen masyarakat lain dalam bentuk edukasi, seperti; kampanye sosial dan seminar. Tujuannya supaya masyarakat bisa membangun empati, dengan melihat sudut pandang sebagai janda.
Mendorong masyarakat untuk menjalin hubungan yang positif dengan perempuan-perempan dengan status janda. Memberikan ruang aman bagi janda untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan sosial. Berinteraksi secara langsung, memungkinkan hal itu akan memperkecil stigma buruk terhadap janda.
Baca Juga: Fenomena Perkawinan Anak di Indonesia yang Masih Menjamur
Referensi:
Listya Karvistina, “Presepsi Masyarakat Terhadap Status Janda”, (diakses dari https://eprints.uny.ac.id/21969/1/PERSEPSI%20MASYARAKAT%20TERHADAP%20STATUS%20JANDA.pdf)