Baru-baru ini, media sosial diramaikan dengan isu fatherlees, bermula dari adanya hasil riset yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 3 di dunia sebagai negara fatherlees.
Hanya saja untuk memvalidasi isu ini belum terbukti based data yang menunjukkan peringkat fatherlees di Indonesia.
Tetapi tidak dipungkiri ternyata dikatakan cukup banyak anak yang mengalami fatherlees. Karena disini kita tidak hanya membahas dampak dari fatherlees tetapi juga bagaimana seharusnya pola asuh dari sisi ayah.
Sebelumnya kita kenalan terlebih dahulu yuk, apa sih fatherlees itu?
Fatherlees adalah kondisi yang dialami oleh anak, dikarenakan tidak hadirnya figur ayah dalam tumbuh kembang anak baik secara fisik, maupun secara emosional, dan psikologis.
Berkaca kepada dogma lama yang ada di Indonesia bahwa, peran ayah dianggap cukup dengan batasan menafkahi keluarga.
“bapaknya yang kerja cari uang, biar ibunya saja yang mengurus rumah dan isinya”.
Penggalan dialog ini lah yang seringkali ditemui saat berbincang dengan teman di lingkungan sekitar, yang ditanamkan oleh orang tua terdahulu dan berdampak hingga saat ini, kebanyakan dari mereka menanamkan kepada anak laki-lakinya untuk menjadi maskulin, tidak dibebankan kepada urusan domestik. tidak sada jika ‘abai’ dalam pola asuh kepada anak sehingga kurangnya kedekatan emosional kepada anak-anaknya.
Keikutsertaan ayah dalam mengasuh anak adalah sebuah kegagalan ibu dalam mengurus anak, begitulah kira-kira.
Alasan populer lainnya yang dapat menyebabkan fatherlees adalah tidak adanya waktu luang ayah dirumah untuk keluarga.

Mellisa Magdalena (psikologi anak) dalam acara podcast hallobunda, menyampaikan bahwa dampak fatherlees pada psikologi anak adalah rasa aman. Rasa aman disini berpengaruh terhadap perkembangan sang anak sebagai bekal dalam mengembangkan rasa percaya diri, menghargai kehadiran dirinya sendiri, perkembangan terhadap rasa optimis untuk terbuka dan optimis terhadap hal-hal baru, kesemuanya sangat berpengaruh secara jangka panjang.
Fatherlees memberikan dampak rentan memiliki resiko negatif dibandingkan anak dengan pola asuh yang adil dari ibu dan ayah, yang poinnya adalah kepada kematangan psikologis anak, (misalnya kurang percaya diri, prestasi belajar menurun, lebih mudah depresi, Sulit menjalin hubungan dan kepercayaan kepada orang lain).
Lalu apa yang dapat diupayakan?
Komunikasi
komunikasi diposisikan pada urutan pertama, bukan hanya sekedar komunikasi antara ibu kepada anak atau ayah kepada anak, tetapi antara ayah dan ibu keduanya bisa memposisikan untuk menjadi telinga, teman mendengar satu sama lain, karena kerja sama keduanya menjadi kunci dalam tumbuh kembang anak.
Teman Bermain
pada hari weekend ayah bisa meluangkan waktunya untuk bermain kepada anak, bukan hanya sekedar bermain juga mengajarkan untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri, mengajarkan moral agar dapat bertindak sesuai dengan usianya
Mendorong budaya yang mendukung ayah terlibat dalam pengasuhan anak
Dedikasi dari sang ayah sangat dibutuhkan dalam keluarga, mari mulai menormalisasi keterlibatan ayah dalam urusan domestik antara lain berkontribusi dalam mengembangkan parenting.
Baca Juga: Rokok untuk Generasi Muda: Toleransi atau Glamorisasi?
Sumber : Aulia Nisa, dkk. 2023, peran penting seorang ayah dalam keluarga perspektif anak (studi komparatif keluarga cemara dan keluarga broken home), vol.13 no.2.