Terik menghantam, udara terasa sesak. Suara nyanyian dan dentuman perkusi memenuhi telinga. Sorak sorai penuh kebahagian terdengar dari segala penjuru. Dan disinilah aku, mengarak mereka dengan senyuman dari topeng palsu. Bukan aku tidak senang melihat mereka wisuda, tapi ya tetap saja aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Menjadi satu-satunya yang tertinggal ternyata tidak mudah.
Tapi apa boleh buat? Mereka masih teman-temanku, setidaknya aku harus tersenyum hari ini. Tanpa perlu berkata apapun, aku hanya tersenyum ke arah mereka, tanpa sadar aku sudah ikut tertarik ke dalam barisan, ikut terlarut dalam euphoria kebahagiaan mereka. Sembari memikul beban yang sangat berat, aku terus mengikuti mereka, bertepuk tangan dan bernyanyi dengan kencang.
Diantara wajah-wajah bahagia tersebut, sekilas aku melihatnya. Ia terus memandangiku dengan wajahnya yang muram, seolah semua luapan kebahagiaan di sekitarnya ini adalah hal yang mengganggu. Begitu prosesi arak-arakan selesai, aku sempat ikut beberapa orang dari kelasku dulu untuk foto bersama. Setelah itu aku lebih memilih untuk sedikit menjauh dan melihat mereka yang kini sibuk mengabadikan momen yang paling mereka tunggu tersebut.
“ Kenapa datang?”
Sembari menyodorkan sekaleng minuman, ia menanyakan hal tersebut. Aku hanya terdiam dan tersenyum ke arahnya.
“ Tak seharusnya mereka seperti itu, apanya yang satu rasa coba? kau juga kenapa
malah datang? Hobi sekali memang menyakiti diri sendiri.”
Kata-katanya yang pedas ternyata masih tetap sama. Aku disini bukan karena doktrin organisasi yang membuat kita harus merasakan satu rasa yang sama, susah senang bersama, bukan, bukan karena itu aku datang kesini. Aku kesini karena kalian teman-temanku, kebetulan saja aku tidak berada di jalan dan waktu yang sama dengan kalian, tapi bukan berarti aku tidak akan datang ke acara wisuda kalian. Lagipula aku juga sudah berjanji kepada teman-teman yang lain, apapun yang terjadi aku akan tetap datang.
“ Aku tidak akan pergi dari kota, jadi kalau kau butuh bantuan tentang skripsimu, datang saja.”
Aku hanya tersenyum dan mengiyakan tawarannya tersebut.
“ Sudahlah, pulang saja sana! Aku tahu kau sudah tidak bisa menahannya.”
Aku kemudian tertawa, kami sudah bersahabat semenjak umur 5 tahun jadi tak heran kalau ia mengerti apa yang aku rasakan sekarang. Setelah mengambil beberapa foto bersamanya, aku segera pergi dari kampus. Mendung segera menemani, ya ia sepertinya tahu apa yang paling aku butuhkan sekarang. Hujan deras tiba-tiba saja menghantam, namun aku masih tetap melanjutkan perjalanan. Tak sedikitpun terlintas di pikiranku untuk berhenti sejenak dan memakai jas hujan. Rasa dingin mulai terasa, namun entah mengapa aku malah merasa nyaman. Setidaknya hal itu membantuku untuk menyudahi tangisanku yang sejak tadi disembunyikan oleh air hujan.
*****
Kalian bisa melihat dengan jelas kalau dari belakang. Setidaknya itulah yang aku rasakan sekarang. Ketika masih bersama, semuanya terasa samar, aku tidak tahu mana yang benar-benar tulus kepadaku. Namun begitu aku tertinggal semuanya jadi terlihat dengan sangat jelas, aku jadi tahu siapa yang rela meluangkan waktunya dan menoleh kebelakang.
“ Penulisanmu salah, kata asing harus ditulis miring.”
Setiap kali ada waktu luang, ia akan langsung mendobrak rumahku dan mengajakku keluar untuk mengerjakan skripsi. Aku sudah bersahabat dengannya semenjak kecil, hubungan kami berdua semakin dekat ketika kedua orang tuaku meninggal saat aku beranjak SMA. Ia sering sekali datang ke rumah dan membawakanku sarapan. Hingga pada akhirnya kami berdua berkuliah di kampus yang sama dan mengambil jurusan yang sama juga.
“ Hei bagaimana dengan part time mu? Apa masih lanjut?”
“ Tidak, kontraknya sudah habis sejak minggu lalu.”
“ Bisa beli makan? Jangan mati kelaparan lo.”
“ Tabungan ayahku masih ada, lagipula aku akan segera mencari pekerjaan baru nanti.”
“ Bagaimana kalau kau gabung ke tempatku saja.”
Setelah lulus, ia langsung diterima bekerja di suatu perusahaan sebagai seorang copywriter. Sebenarnya ia tidak terlalu suka dengan pekerjaan tersebut, tapi karena segera ingin punya uang sendiri, mau tidak mau akhirnya ia menerima hal tersebut.
“ Tempatku sedang mencari orang untuk membuat beberapa artikel promosi, tenang saja gajinya lumayan kok, aku berani jamin.”
Jujur saja, tabungan milik ayahku sudah menipis. Kalau aku tidak bekerja aku tidak akan bisa makan. Karena hal itu pula fokusku jadi terpecah sehingga membuatku gagal ketika ujian proposal skripsi. Pada akhirnya aku menerima tawarannya tersebut. Setiap hari setelah bekerja, ia akan mengajakku untuk kerumahnya dan menyuruhku untuk mengerjakan skripsi. Keseharian tersebut terus berulang hingga pada akhirnya aku berhasil menyelesaikannya.
*****
Di tengah dinginnya ac di ruangan ini, aku menghadapi banyak orang yang terus menyuguhkan senyuman. Aku tak pernah menyangka kalau aku akan punya banyak sekali penggemar. Banyak dari mereka yang datang dari tempat jauh hanya untuk bertemu denganku. Di tengah itu semua aku tiba-tiba teringat, sebuah perkataan yang pernah aku ucapkan 10 tahun silam.
“ Aku akan pergi sebentar, tunggulah.”
Di tengah riuh suasana acara wisuda aku mengatakan hal tersebut kepadanya. Hari itu aku sangat senang, bukan karena telah menyelesaikan studi tapi karena aku berhasil menyadari satu hal. Ya satu hal sederhana yang seharusnya sudah aku ketahui sejak lama. Rasa nyaman ketika berada bersamamu, hal itu muncul bukan tanpa alasan. Tawamu, marahmu, sedihmu, aku selalu ingat akan hal itu. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu, ingin rasanya aku mengatakan hal tersebut dan mengungkapkan segalanya.

Namun apa? Aku hanya lelaki menyedihkan yang bahkan tidak bisa menghidupi dirinya sendiri. Waktu itu aku tidak mengungkapkan perasaanku dan memilih untuk berpamitan, aku ingin ia menungguku, tidak sopan memang, tapi jujurwaktu itu aku tidak bisa memberikan apapun kepadanya, maka dari itu aku lebih memilih untuk berpamitan dan pergi untuk merubah hidupku menjadi lebih baik.
“ Pergilah, aku tidak akan kemana-mana.”
10 tahun sudah berlalu, kini hidupku jauh lebih baik dari sebelumnya. Setelah acara peluncuran novel terbaruku selesai, aku segera bergegas untuk kembali ke kampung halamanku. Apa ia akan terkejut dengan perubahanku sekarang? Aku rasa ia akan tertawa dan mencibirku dengan kata-kata pedasnya. Dalam perjalanan aku kembali mengingat masa-masa dimana ia selalu menemaniku disaat-saat yang sulit. Meski omonganya sangat pedas, tapi ia benar-benar selalu bersamaku dan mendengar segala keluh kesahku.
Teryata aku sudah pergi sangat lama, kota tempat tinggalku dulu sudah banyak berubah. Banyak sekali bangunan-bangunan baru yang tidak aku kenali. Namun meski begitu, aku masih hafal dengan terik matahari kota ini, rasanya masih sama seperti dulu, membakar siapa saja yang datang ke kota ini. Setelah beberapa menit berkendara, aku akhirnya sampai. Kios makanan yang ada di depan rumahmu kini telah berubah menjadi sebuah toko buku. Ternyata kau memanjangkan rambutmu sekarang, sebanyak apapun kau merubah penampilanmu aku pasti akan mengenaliku. Dibalik meja kasir, ia mulai mensortir beberapa buku yang ada dihadapannya. Begitu aku masuk, denting lonceng mulai terdengar.
“ Selamat datang.”
Suara yang dulunya sering mengomeliku kini bisa aku dengar kembali. Setelah aku mendekat, ia segera meninggalkan pekerjaannya dan melihatku dengan seksama.
“ Ini aku, jangan bilang kau tidak tahu orang terkenal seperti ku ini.”
Ia mulai tertawa terbahak-bahak dan menghantamku dengan buku yang ada di hadapannya.
“ Penulis besar datang ke tokoku, aku harus tutup sekarang.”
Dengan cekatan ia keluar dari balik meja kasir dan membalik tanda buka menjadi tutup. Ia kemudian mengunci pintu tokonya dan mempersilahkan aku untuk masuk kerumahnya. Begitu aku masuk, ia langsung kebelakang dan mulai berteriak.
“ Ada tamu! Sudahi dulu masakmu!”
Entah dengan siapa ia berbicara aku tidak tahu. Ia kemudian duduk di depanku dan mulai menatapku dengan sinis.
“ Dasar, aku sudah menunggumu sangat lama, ku kira kau sudah lupa kepadaku.”
Meskipun sudah sangat lama, aku tidak mungkin melupakanmu. Kini aku bukan lelaki menyedihkan seperti dulu, kehidupanku sekarang sudah lebih baik. Setelah satu tarikan nafas, aku berniat untuk mengungkapkan perasaanku selama ini kepadanya.
“ Argon? Apa ini sungguhan?”
“ Sudah kubilang kan? Aku ini teman masa kecil dari penulis terkenal itu.”
Lelaki itu muncul dari dalam rumah dan membawa beberapa gelas minuman. Setelah menyajikannya kepadaku, ia langsung duduk di sampingku dan menyalamiku dengan erat. Ia sepertinya penggemar beratku.
“ Aku sudah bilang kan? Aku juga tidak bohong tentang cerita saat aku membantunya mengerjakan skripsi.”
“ Iya-iya, aku percaya sekarang. Aku jadi ragu ketika ia tidak datang ke pernikahan kita setelah kau undang.”
Undangan? Pernikahan? Kata-kata tersebut memenuhi kepalaku. Kemudian ia mulai menatapku dengan sinis dan menghujaniku dengan omelannya.
“ Susah memang kalau sudah terkenal, lupa dengan sahabat sendiri.”
“ Ah aku tidak bermaksud seperti itu, akhir-akhir ini aku jarang mengecek kotak pos.”
Pada akhirnya kami bertiga menghabiskan waktu bersama sampai tengah malam. Banyak sekali cerita-cerita konyol semasa muda dulu yang aku ceritakan waktu itu. Ia terlihat sangat bahagia malam itu, ia dan suaminya terus tertawa dan menaggapi semua yang aku ceritakan. Jujur saja aku merasa sangat lega ketika melihat wajah bahagianya tersebut. Begitu berpamitan aku segera masuk ke dalam mobil dan berdiam diri selama beberapa waktu.
“ Sepertinya aku terlambat bilang suka kepadamu.”
Aku menggumankan hal tersebut sembari menatap jalanan yang mulai sepi. Entah perasaanku yang bertepuk sebelah tangan, atau aku yang membuatnya menunggu terlalu lama, aku tidak tahu. Aku sudah hafal dengan senyumnya, senyuman itu sudah mengungkap segalanya, ia sudah bahagia sekarang bersamanya. Sekali lagi, perasaanku yang sedari dulu aku pendam kini terpaksa aku pendam lebih dalam lagi. Sakit memang, meski berantakan aku harus tetap melanjutkan.
Sepertinya takdir sudah menentukan kalau aku tidak bisa bersamanya, waktu dan jalan yang kami tempuh kini sudah berbeda. Namun bukan berarti ia tidak akan menjadi sahabatku lagi, benar aku tidak boleh memutus persahabatan ini hanya karena rasa sakit yang sedang melanda. Aku akan terus menjadi sahabatnya, selalu mendukung apa yang menjadi keputusannya. Kisah dimana aku pernah menyukaimu, biarlah menjadi kisah yang tidak pernah kau ketahui.