
Sekolah merupakan salah satu sarana pendidikan yang di dalamnya terdapat guru, murid, dan kurikulum. Tak ketinggalan dengan ragam administrasi baik secara data maupun biaya. Dari beberapa unsur di atas semuanya saling berkaitan.
Di luar dari sekolah apakah kita bisa mendapatkan pendidikan juga? Ya, tentu bisa. Pernah kalian mendengar pepatah, “semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru.” Sayangnya, tidak semua orang bisa dengan mudah mendapatkan pendidikan, seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.
Pada akhir 2021, Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat, ada 38.116 siswa SD dan 15.042 siswa SMP putus sekolah. Dari data ini, untuk jenjang wajib belajar SD-SMP terindikasi 53.758 siswa putus sekolah. Adapun, di jenjang SMA dan SMK sebanyak 22.085 siswa putus sekolah.
Fenomena semacam itu faktor besarnya adalah masalah ekonomi, banyak dari mereka yang terpaksa bekerja bahkan merantau demi melengkapi ekonomi keluarga. Padahal program wajib belajar selama 12 tahun sudah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2015.
Ini sangat bertolak belakang dengan yang terjadi di lingkungan kita. Andai saja, semua sekolah benar-benar gratis di Indonesia, tampaknya angka putus sekolah di Indonesia bisa dihilangkan.
Berbeda dengan sesuatu yang saya temukan pada satu kesempatan di Desa Warukawung, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon pada kegiatan pengabdian kuliah (KKN) UIN Syber Syekh Nur Jati Cirebon.

Saya menemukan hal yang sangat menarik di sektor pendidikan. Ketika banyak di luar sana orang-orang sulit mendapatkan sarana pendidikan, justru di Warukawung banyak tempat-tempat yang menyediakan pendidikan, terkhusus pada pendidikan agama.
Ada beberapa tempat mengaji dan yayasan yang dengan sukarela menberikan fasilitas belajar untuk tingkatan anak-anak. Menurut Kepala Yayasan Bachrul Asror, Haji Taufik, mengungkapkan, “Kami di sini semuanya gratis. Tanpa harus ada pembayaran apa pun.”
Perihal gaji guru, sambil bergurau beliau menjawab, “Dalam sebulan gaji guru itu ada yang 30 hari ada juga yang 31 hari bahkan ada yang 29 hari,” ujarnya dengan tawa ringan. Baru setelah itu beliau menjelaskan semua penggajian itu ditanggung pemilik yayasan (Bapak Bachruddin).
Baca juga: 7 Tips Hafal Al-Quran untuk Anak dan Remaja
Hal yang sama juga dikatakan oleh Pak Halimi selaku ketua DKM Desa Warukawunng. Beliau membuka pengajian anak-anak di rumahnya tanpa ada pungutan biaya apa pun. Menurutnya, ini adalah bagian dari pengabdiannya terhadap masyarakat. Sambil berbincang santai beliau berkata, “Mungkin saya diberi anak oleh Allah dua supaya bisa lebih memberi manfaat bagi sekitar saya. Saya bisa membantu anak-anak orang lain yang membutuhkan ilmu dari yang saya punya.”
Karena background Pak Halimi, Pak Taufik dan Pak Bachruddin dari lingkungan pesantren, maka hasil yang mereka dapatkan juga sesuai dengan ajaran-ajaran pesantren. Sebagaimana banyak para alim ulama sampaikan, “Jangan kau kejar apa yang ada di dunia, kejarlah sesuatu yang bertujuan akhirat. Jika kalian mengejar akhirat, dunia pasti akan mengikuti. Lain halnya jika itu dibalik, maka tidak ada hal akhirat yang ikut pada kita.” Oleh karena itu, mereka selalu ada saja rezeki untuk hal-hal kemaslahatan umat.
Hal semacam ini sering terjadi di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan, seperti pondok pesantren. Banyak dari pondok pesantren di Indonesia tidak memungut biaya kepada para santri. Hal ini tidak membuat lembaga tersebut bangkrut, tetapi semakin banyak dan semakin sejahtera.
Ada juga sebagian pondok lainnya yang menggratiskan biaya apa pun dengan syarat harus mengabdikan diri di pondok dan masyarakat ketika sudah lulus.
Kyai Anwar Zahid menerapkan hal yang sama. Beliau menggratiskan semua kebutuhan para santri di pondoknya, mulai dari makan, bayar bulanan, seragam, bahkan alat belajar.
Pondok Pesantren Al-Hikmah 1 Brebes juga menerapkan hal yang sama dengan syarat mengabdikan dirinya di pondok selama masa sekolah berlangsung. Masih banyak lagi lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia yang menerapkan gratis berpendidikan.
Di ranah pendidikan umum, hal semacam ini sangat jarang terjadi. Justru yang ada semakin tahun administrasi untuk bersekolah semakin tinggi. Bahkan, dalam beberapa kasus, sudah banyak oknum yang mengambil keuntungan dari pendaftaran.
Baca juga: Sisi Lain Indonesia Emas 2045: Potensial Growth adalah Masalah Besar
Banyak calon siswa yang dicurangi ketika mendaftar masuk sekolah hanya karena banyak orang beruang yang ingin anaknya masuk ke sekolah favorit. Seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kejadian semacam ini sangat disayangkan, mengingat banyaknya anak-anak di luar sana yang tidak bisa bersekolah. Belum lagi saudara kita yang ada di pelosok negeri, mereka juga ingin mendapatkan pendidikan yang layak.
Mungkinkah hal seperti ini bisa diterapkan pada pendidikan formal? Jika hal ini banyak diadakan oleh pemerintah sepertinya akan banyak masyarakat yang merasa diwadahi. Pendidikan adalah hak bagi semua orang. Negara wajib untuk mencerdaskan bangsa dan itu tercantum dalam Dasar Negara dalam Pasal 31 UUD 1945.
Sekolah, kok, bayar? Gratis, dong!
Apakah negara mampu menciptakan hal semacam ini? Entahlah.