Kali ini saya mau coba menuliskan kembali ulasan buku yang pernah dibaca. Buku ini sengaja saya beli pada 27 April 2024 di Balai Kota Tegal, saat ada acara peluncuran salah satu buku terbitan Marjin Kiri. Buku ini tiba-tiba menarik perhatian saya saat melihat jajaran buku yang sedang dipamerkan. Kala itu tetiba saya sedang sangat ingin membaca novel baru.
Tahun Penuh Gulma – karya Siddharta Sarma adalah buku yang mendapatkan penghargaan literatur di India Neev Book Awards 2019 kategori Young Adults yang diterjemahkan dalam bahasa oleh Marjin Kiri.
Buku ini berisi tentang isu mengenai konflik agraria masyarakat adat. Sarma menyajikan cerita yang berat dalam bentuk tulisan yang sederhana. Melibatkan tokoh bocah laki-laki Suku Gondi bernama Korok, dia bekerja sebagai tukang kebun seorang pejabat daerah.
Dikisahkan Suku Gondi yang tinggal di distrik Odisha, India sedang mendapatkan ancaman dari pihak luar. Bukit Devi, yang dikeramatkan Suku Gondi, terancam dikeruk karena di sana terkandung mineral bauskit. Pemerintah berencana menguasai Bukit Devi demi keuntungan besar, tanpa mempedulikan nasib penduduk di sekitar bukit.
Perusahaan bekerja sama dengan pemerintah Odisha untuk melakukan penguasaan lahan Suku Gondi. Awalnya para pemilik proyek hanya melakukan cara halus agar Suku Gondi mau merelakan Bukit Devi kepada mereka.
Namun, usaha mereka tidak berjalan mulus. Alih-alih mendapatkan bauskit, mereka malah terbentur dengan aksi penolakan Suku Gondi.
Di setiap konflik agraria, masyarakat adat selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Pada kasus Bukit Devi ini, Suku Gondi berupaya melakukan perlawanan agar Bukit Devi tetap utuh. Namun, berbagai cara juga dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan demi mengeruk bauskit di Bukit Devi.
Kegalauan Suku Gondi bermula setelah ada statement dari pemerintah bahwa mereka ‘terpaksa’ dipindahkan. Aksi represif kemudian dilakukan demi meredam segala bentuk aksi penolakan yang dilakukan. Kekerasan mulai dilayangkan oleh aparat keamanan terhadap Suku Gondi demi memenuhi ego si pemilik proyek. Seperti salah satu kutipan yang saya sukai dari buku ini:
“Yang sebenarnya mengerikan adalah lebih banyak waktu dibahiskan untuk memikirkan cara yang benar dalam menggunakan pentungan dari pada berbagai cara yang bisa dilakukan polisi untuk berbicara baik-baik dengan rakyat.”
Upaya-upaya masyarakat dan media yang mencoba membela Suku Gondi secara terus menerus mendapatkan perlawanan dari pemilik proyek. Citra Suku Gondi dirusak dengan segala macam berita buruknya.
Padahal, Bukit Devi secara de jure telah masuk ke dalam bentang alam yang dilindungi. Bagi Suku Gondi, selain keramat, Bukit Devi diyakini dihuni oleh pen (dewa) yang bersemayam ditumbuhan/pohon-pohon kecil. Pada bukit tersebut pula diletakan sebuah hanal kot (penanda) dari orang-orang yang sudah tiada. Salah satunya hanal kot milik ibunda Korok.
Korok, seorang anak kecil yang polos, mampu memecahkan kesulitan yang dialami oleh penduduk Suku Gondi. Menariknya, alih-alih menjadikan tokoh dewasa sebagai pemeran utama, buku ini malah menjadikan Korok sebagai kunci penting.
Kepolosannya membuka mata para aktivis pejuang keadilan masyarakat adat untuk mendapatkan celah kemenangan. Menurut Korok, si pemilik proyek seperti halnya gulma. Sebagaimana gulma itu tumbuh dengan cepat menyebar dan menghabiskan sari-sari kehidupan sekitarnya.
Ya begitulah, realitas pada kehidupan ini, di sudut dunia manapun, kriminalisasi masyarakat adat masih kerap terjadi. Buku ini juga telah membuka kembali mata saya bahwa eksistensi masyarakat adat bisa dianggap “ancaman” bagi siapa-siapa pemilik proyek besar. Pencemaran nama baik hingga tindakan fisik kerap terjadi tanpa orang lain sadari.
Sarma telah mengkisahkan dengan rinci mengenai masalah dan penyelesaian terkait konflik agraria ini. Semoga, kita sebagai pembaca bisa lebih waspada dan memahami langkah-langkah yang perlu dilakukan apabila dihadapkan dengan masalah yang sama.