Sebuah sudut pandang di sore yang kita lalui bersama.
Aku masih ingat, malam hari pikiranku sangat membuncah. Pertemuan-pertemuan yang tak terjamah sepanjang sore hingga malamnya, akhirnya berujung nyata. Aku masih bergelut dengan banyak hal, juga termasuk banyak penyitaan oleh waktu-waktu yang tak menentu, sambil ditemani seruput es buah Jusi Lusi dan ketikan khas mahasiswa yang meng-coding.
Barangkali, bagian pentingnya adalah aku masih di sini. 1Tak banyak akalku yang bisa kugunakan malam itu untuk menolak pertemuan esok hari yang ia rencanakan jauh-jauh sebelumnya. Meski demikian, aku masih banyak mengelak dan menolak dengan halus karena banyak ketidakpastian yang aku alami. Aku hanya tak ingin merepotkannya.
“Jadi, bagaimana aku bisa bertemu denganmu? Pukul berapa?“ katanya, dalam pembicaraannya di telepon.
“Aku nggak tahu, besok belum ada yang pasti. Kalau nggak ketemu dulu, bagaimana?” kataku, sambil repot menulis hasil coding-ku.
Di ujung sana, ia mendebatku cukup lama. Ia berusaha mendengarkan banyak alasanku untuk tidak bertemu hari itu. Sampai di ujung percakapan, ia hanya berpasrah.
“Iya, aku serahin ke kamu lagi semuanya. Aku mengikuti kamu” katanya, pasrah.
Di depan laptopku yang panas akibat tidak pernah tidur, dari sore ke sore, dari malam ke malam, aku berpikir banyak hal. Perihal dia, ia ada sejak sore 11 tahun yang lalu, tak banyak caraku untuk selalu bersamanya.
Aku mungkin adalah orang yang payah dan tak berdaya. Mungkin banyak pertengkaran yang kami lalui belakangan atau banyak komunikasi yang tak terbantahkan di pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Kami mungkin juga adalah dua insan yang saling tak berkabar meski menginginkan untuk terus menjumpai kabar satu sama lain, atau juga dua insan yang juga hanya menari-menari untuk saling mengetahui diri satu sama lain. Atau lebih tepatnya lagi, kami dua insan yang saling melempar doa ke langit untuk harapan-harapan baik ke depannya.
Atau mungkin aku yang tak tau bagaimana cara mengelola rasa yang berubah-ubah.
Ah, aku juga mungkin hanya mahasiswa yang banyak berpikir di tengah tugas coding-ku malam itu dan juga memikirkan pertemuan esok hari.
***
“Hari ini, pukul 4 sore, ya” kataku, di pagi hari padanya, memastikan pertemuan.
Saat itu aku tidak bisa membayangkan apa tanggapannya dan bagaimana ekspresinya. Satu hal yang ingin aku lakukan hanyalah aku di sini, aku tetap hadir di sekitarnya. Aku tergopoh-gopoh di pagi hari menyiapkan segala keperluanku untuk tugas akhir yang rumit. Beberapa kali ia mengecekku dari jauh, aku cukup senang karena aku diperhatikan meski rasanya yang ku tahu biar aku yang di sini saja.
Pukul 12 siang. Aku berlalu lalang di sekitar kampus, menemani banyak orang yang juga sibuk kala itu. Sudah setengah hari. Jantungku mulai tak karuan, ingat pada janjiku sore ini. Aku tidak punya bayangan apapun saat melihatnya yang sudah lama tak berjumpa. Aku hanya menyiapkan diri akan pertemuan kecil itu, apapun hasilnya nanti, aku hanya ingin di sampingnya.
Pukul 2 siang. Saat itu aku masih bersama teman-temanku. Ada banyak hal yang kami bicarakan di kantin siang itu. Aku masih sering melihat jam dan juga mengecek ponselku. Hati ini masih berdebar, bahkan saat orang yang membuatnya tak ada di sampingku saat itu.
Aku hanya bisa merasakan debar ini merupakan debar yang sama, saat kali pertamanya bertemu dalam hidup. Sudah lama sekali, ya Tuhan. Dulu, kami mungkin hanya remaja yang hanya saling memandang dari kejauhan dan juga menceritakan kenaifan masa kecil. Kali ini, di siang ini, semua mungkin akan berubah dalam dua jam kedepan, pada pukul 4 sore, nanti.
Pukul 4 sore. Ia mengabarkan bahwa ia sedang ada di tepi danau tempat biasa aku berdiam diri di kampus. Aku tergopoh-gopoh membawa banyak benda di tanganku selepas presentasi tugasku. Ah, lusuh sekali penampilanku sore ini.
Aku terus mengutuk penampilanku sembari berjalan cepat dan sedikit berlari kecil. Entahlah, mengapa aku melakukannya. Aku berpikir cepat untuk mencari jalan yang lebih cepat dari biasanya. Ah, aku cuma punya waktu yang sedikit. Ah, banyak sekali pikiran yang mengabut di pikiranku sore ini.
Aku berusaha mengatur napasku sambil juga memantau ponselku untuk memastikannya di mana ia berada tepatnya. Dari kejauhan, sudah ku lihat genangan air danau yang tenang juga kumpulan mahasiswa yang ada di sekitar danau yang juga sedang bercengkrama. Aku masih berusaha mencari-cari keberadaannya sambil memastikan kembali dari kabar lewat ponselku.
Oh ya Tuhan, aku sudah melihatnya.
Tiba-tiba jalanku melambat. Aku sudah tau ia di sana. Aku juga melihatnya menghampiriku perlahan. Kami saling menghampiri. Rasanya segala sesuatunya terasa tak berarti apa-apa lagi, termasuk banyak pikiranku beberapa jam berlalu. Aku juga melihat gurat senyumnya dari kejauhan. Entah rasa apa yang kurasakan, sesak dan lega dalam satu tarikan napas. Aku melihat senyum itu lagi.
Aku melihat ia tegap berdiri. Jantungku berdegup kencang sambil ku atur napasku. Malu-malu ku lihat matanya sambil tersenyum. Rasanya, tak peduli hidup ini membawaku ke manapun aku berlabuh, asal bersamanya terasa lebih melegakan.
“Hai, kamu udah lama menungguku?” tanyaku, sambil mengatur napasku.
“Nggak kok” katanya.
Kami berjalan melewati sekitar danau sore itu, sambil aku tersenyum dan melihat pemandangan yang begitu romantis. Daun-daun berguguran, cuaca yang tidak panas, seperti semesta selalu mendukung pertemuan-pertemuan yang kita lakukan.
Di pukul 4 sore ini, meski banyak pertemuan dan kejadian yang tak sempurna selama bertahun-tahun, ada satu hal yang tak pernah berubah yang ku sadari saat menatap binar mata coklatnya: aku masih di sini, masih mencintainya.