Hanya 1 dari 1000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca tinggi.
Data memprihatinkan di atas diungkap oleh UNESCO pada 2018 lalu. Miris dan sangat mengkhawatirkan, terutama di kalangan generasi muda. Krisis literasi bisa berdampak pada ketidakmampuan untuk memahami dan mengaplikasikan informasi secara efektif dapat memengaruhi pola pikir seseorang.
Kondisi ini jelas menuntut perhatian yang serius. Ketika literasi tidak diutamakan, hal ini dapat berujung pada terbatasnya kemampuan individu untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Literasi tidak hanya menjadi kunci untuk membuka wawasan baru, tetapi juga memainkan peran penting dalam membentuk pola pikir yang kritis dan kreatif, sehingga mampu mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan.
Literasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca, tetapi juga mencakup pemahaman mendalam terhadap tulisan dan kemampuan menganalisis informasi yang diperoleh. Minim literasi menghambat kreativitas karena kurangnya paparan terhadap ide-ide baru dan beragam. Tanpa kemampuan untuk memahami informasi yang luas, individu sulit mengembangkan imajinasi dan berpikir kreatif.
Salah satu faktor utama menurunnya minat literasi adalah adanya perkembangan teknologi yang menciptakan adanya persaingan ketat dengan hiburan visual di media sosial. Banyak orang kini lebih memilih konten instan yang cepat dan mudah dicerna daripada membaca dan memahami informasi secara mendalam.
Baca juga: Tantangan Dunia Pendidikan dalam Lingkup ChatGPT
Perkembangan teknologi yang cepat memang membawa perubahan besar dalam cara kita mengonsumsi informasi. Namun, tidak semua negara melihat ini sebagai sebuah kemajuan yang mutlak. Di tengah gelombang digitalisasi, beberapa negara justru mengambil pendekatan berbeda dalam membangun literasi masyarakatnya.
Beberapa negara maju di Eropa justru memutuskan untuk melambat. Swedia, menjadi salah satu negara yang memutuskan untuk melambat dari dunia digital. Mereka lebih mengutamakan buku fisik atau teks cetak daripada mengandalkan penggunaan gadget untuk membaca. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan kemampuan literasi yang kuat bagi siswa.
Selain itu, Kementerian Pendidikan Swedia mengumumkan menghentikan pemakaian gadget mulai tahun 2023/2024 untuk siswa di bawah umur 6 tahun.
Siswa diharuskan untuk memanfaatkan perpustakaan di sekolah. Jika dirasa menemukan hal yang membingungkan, siswa dapat langsung bertanya kepada guru. Aktivitas ini tidak hanya memperkuat literasi siswa, namun juga mengasah kemampuan komunikasi anak.
Untuk mengetahui keberhasilannya, maka dilakukanlah penilaian Progress in International Reading Literacy Study atau PIRLS, yakni dengan cara meminta siswa untuk menyelesaikan tugas membaca. Kemudian siswa diminta untuk mengerjakan kuisioner sebagai parameter keberhasilan anak memahami apa yang ia baca.
Penilaian semacam PIRLS ini memberikan gambaran jelas mengenai kemampuan membaca siswa dan efektivitas metode pengajaran literasi yang diterapkan. Selain itu, pentingnya sumber informasi yang terpercaya juga menjadi sorotan, sebagaimana diungkapkan oleh Institut Karolinska.
Institut Karolinska mengungkapkan bahwa mendidik anak untuk mengenal informasi akurat harus tetap dari buku ataupun teks-teks cetak lainnya. Membuat siswa belajar mengenai pentingnya informasi yang sudah diverifikasi dan dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Langkah yang diambil oleh Swedia ini dapat menjadi contoh berharga bagi pemerintah Indonesia dalam menghadapi krisis literasi yang semakin mengkhawatirkan.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu segera mengimplementasikan strategi yang menyeluruh dan terpadu, mencakup berbagai aspek mulai dari pendidikan hingga kebijakan teknologi. Namun, setiap langkah yang diambil harus berdasarkan pada data dan penelitian yang valid agar solusi yang diterapkan benar-benar efektif dan berkelanjutan.
Langkah awal dalam mengatasi krisis literasi bisa dimulai dari keluarga dengan menanamkan budaya membaca sejak dini. Orang tua dapat menciptakan kebiasaan membaca rutin dan menyediakan buku-buku menarik untuk anak, menjadikan membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan dan bernilai.
Selanjutnya, sekolah-sekolah perlu mengintegrasikan literasi secara menyeluruh ke dalam kurikulum mereka, bukan hanya sebagai mata pelajaran terpisah, tetapi juga dalam berbagai aktivitas dan proyek. Hal ini bisa dilakukan dengan memasukkan materi bacaan yang beragam dan relevan ke dalam pelajaran sehari-hari serta mendorong siswa untuk aktif terlibat dalam diskusi dan analisis teks.
Kita juga bisa melakukan upaya lainnya, seperti menyediakan akses gratis ke literasi berkualitas dan mengemas program perpustakaan keliling jadi lebih menarik. Ketika menjalankan proses ini, peran pemerintah sangatlah penting.
Baca juga: Sisi Lain Indonesia Emas 2045: Potensial Growth adalah Masalah Besar
Jadi, yuk kita saling menopang untuk meningkatkan angka minat literasi di Indonesia. Mencintai literasi adalah investasi untuk masa depan. Dengan meningkatkan minat membaca, Indonesia bisa mencetak generasi yang lebih cerdas, kritis, dan siap menghadapi tantangan global.