Emosional waktu menyampaikan gagasan dijadikan alasan Tone Policing. Mana yang lebih penting? Emosi atau topik yang dibicarakan?
Tone Policing Wajar?
Dicatat dari Dictionary.com, Tone Policing adalah jenis taktik percakapan dimana seseorang atau suatu kelompok menyingkirkan isu yang sedang didiskusikan ketika argumen disampaikan satu pihak dengan intonasi marah, sedih, frustasi, dan lain-lain. Dikarenakan emosi dianggap hal personal, maka seseorang bisa membatalkan klaimnya untuk menetapkan argumen awal di sebuah percakapan.
Nada Emosional Enggak Nyata, tetapi Persepsi?
Tone Policing membuat norma-norma komunikasi interpersonal tidak lagi bisa dinegosiasikan. Pria dianggap keren ketika membagi pengalaman berhasil keluar dari toxic relationship. Kenapa wanita yang memiliki perilaku serta pengalaman sama justru dipandang lebay? Seringkali orang lain lebih berfokus pada emosi lawan bicara daripada argumen yang dilontarkan
Tone Policing Bukan Sekedar Intervensi
Tone Policing tidak tertarik atas konteks eksternal yang seharusnya diakui secara objektif, melainkan subjektivitas individu. Dikarenakan lawan bicara ‘terlihat marah’, maka respons pihak lain melebih-lebihkan kemarahan itu—menjadi hal yang lebih penting untuk diperhatikan demi menutupi sikap skeptisnya. Orang-orang yang memiliki hak istimewa dan kekuasaan sosial terbiasa menganggap diri sendiri sebagai standar. Sering menegaskan otoritas tersebut tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Emosional Bukan Jawabannya?
Tone Policing tidak hanya terjadi di ruang diskusi yang private. Pada ruang lingkup profesional, mengelola emosi dalam menyampaikan argumen penting untuk diperhatikan supaya komunikasi tetap fokus atas tema diskusi. Dengan kata lain, jangan biarkan pihak lain mengacaukan sensitivitas pribadi. Namun, apa benar kontrol emosi satu-satunya solusi untuk Tone Policing? Berdasarkan kesimpulan studi penelitian National Library of Medicine, penekanan emosi dapat menimbulkan risiko kematian dini, termasuk kematian akibat kanker.
Realita yang Terjadi: Perempuan Tetap Diabaikan
Satu tahun yang lalu di kanal YouTube The Indah G Show, dimana ia sedang membicarakan parenthood bersama Raditya Dika. Dikarenakan tamunya adalah komedian, Indah G berusaha bercanda dengan Bahasa Indonesia mengatakan ‘anak kecil masih bloon’. Namun, justru mendapat kecaman pedas walaupun Indah G sudah meminta maaf. Netizens Indonesia juga mencemooh Indah G berbahasa Inggris supaya terlihat pintar. Bahkan pemilik kanal YouTube BASTEN SEBO, secara gamblang berkomentar ‘nggak usah marah-marah’ setelah menampilkan Instagram Reel Indah G menjelaskan ia tumbuh dan besar di Amerika Serikat—itulah alasan ia lebih nyaman mengobrol dengan Bahasa Inggris.
Latihan Menggunakan ‘I’ Statement
Emosi adalah bagian dari pengalaman hidup. Mengabaikan beragam emosi tersebut hanya membuat harga diri seseorang tidak sahih. Pada akhirnya tujuan yang ingin dicapai pun terhalang. Belajar dari Indah G, kita tidak perlu merendahkan diri dan mengubur keunikan identitas yang dimiliki hanya untuk diterima orang lain—kita adalah tuan dari diri sendiri. Menjadi straightforward dan apa adanya di Indonesia memang tidak mudah. Namun, apabila hal yang dipermasalahkan lagi-lagi penggunaan bahasa, di semua video Indah G selalu tersemat terjemahan. Sebagian besar rakyat Indonesia protes kebebasan bersuara dibungkam, tetapi di satu sisi masih hobi melakukan Tone Policing pada perempuan Indonesia?
6 Contoh Dialog Tone Policing di Kehidupan Sehari-hari
Setiap kasus, pesan yang disampaikan pada dasarnya sama menuju ke target yang sama. Emosi lawan bicara diperjelas sebagai pemikiran yang tidak rasional dan tidak layak untuk dipertimbangkan. Kita bisa menjadi emosional dan rasional secara bersamaan. Emosi dapat muncul ke permukaan ketika individu terlibat dalam percakapan seputar isu diskriminasi atau ketimpangan sosial yang memang pernah dialami. Akan tetapi, orang-orang yang tidak mengalami dan enggan mendengarkan kerap memiliki respons, seperti ini:
“Enggak usah nge-gas!”
“Kok marah?”
“Coba nanti ngomong lagi kalau udah chill, ya.”
“Kenapa harus meledak-ledak?”
“Dia kalau ngomong emang selalu menggebu-gebu gitu, ya?”
“Dibawa santai aja kali!”
Kaum yang sangat dirugikan oleh pemberdayaan Tone Policing di kalangan publik ini adalah para perempuan dan berbagai kelompok minoritas lainnya. Keinginan serta kemampuan bersuara untuk kepentingan bersama terpaksa bungkam dikarenakan ada standarisasi tertentu dalam melontarkan opini atau kritik. Apabila kasus yang diangkat kemiskinan, rendahnya daya literasi generasi penerus, atau bahkan aksi rusuh warga Israel mengeroyok seorang jurnalis asal Palestina—masih haruskah kita bersikap tenang di saat mereka benar-benar sangat membutuhkan bantuan?