Terjebak dalam Lingkaran: Menghadapi Toxic Friendship dan Menemukan Jalan Keluar

Pada suatu masa, di tengah kesibukan kegiatan kampus yang penuh dengan kegiatan organisasi, event, dan pameran, hiduplah seorang mahasiswi bernama Glads. Dia adalah seorang introvert yang susah untuk dekat dengan orang lain. Trauma masa lalunya membuatnya selalu menjaga jarak. Ketika dia duduk di bangku SMA, Glads pernah mengalami permasalahan yang menyakitkan. Ketika ia berhasil meraih peringkat dua, bukannya mendapat apresiasi, dia malah dibully oleh teman-temannya. Mereka merasa iri dan tidak senang melihat prestasinya. Selain itu, Temannya juga sering dianggap aneh karena sering berbicara mengenai kesuksesan orang lain, topik yang teman-temannya anggap tidak relevan dan mengganggu. Sejak saat itu, Glads menjadi sensitif terhadap penolakan dan mulai menarik diri dari lingkungan sosial.

Di kampus, Glads kerap merasa terjebak dalam lingkaran pertemanan yang penuh dengan ejekan dan candaan berlebihan. Di dalam kelas, ia dipasangkan dengan kelompok yang menurutnya tidak mendukung. Mereka suka memojokkan dan menuduhnya melakukan hal-hal yang tidak benar. Suatu kali, dalam sebuah proyek kelompok, Glads dituduh mencontek oleh Lili, salah satu anggota kelompoknya, padahal ia hanya mengoreksi tugas teman-temannya. Meskipun Glads sudah mencoba menjelaskan bahwa dia telah meminta izin, Lili tetap bersikeras bahwa Glads menyontek. Tuduhan itu menyebar dengan cepat, membuat Glads semakin terkucilkan. Tidak ada yang mau mendengarkan pembelaannya, dan tidak ada seorang pun yang berdiri di pihaknya.

Glads semakin terpuruk ketika Lili dan teman-teman lainnya mulai membicarakan dan menyebarkan gosip buruk tentangnya. Tidak ada satupun dari mereka yang mendukung Glads. Mereka hanya memojokkannya, mempermalukan dia di depan yang lain, hingga akhirnya Glads merasa benar-benar terasing. Pada semester ketujuh, beban mentalnya semakin berat hingga membuatnya memutuskan untuk berhenti menggunakan media sosial dan menutup diri dari semua orang. Glads merasa satu-satunya yang bisa memahami dirinya hanyalah Tuhan Yang Maha Esa.

Glads yang dulunya ambisius dan mandiri kini merasa hancur. Dia hanya bisa berdiam diri, memendam perasaannya, dan semakin kehilangan kepercayaan pada orang-orang di sekitarnya. Berulang kali ia mengalah meskipun ia tidak salah dan meminta maaf, tetapi semua usahanya diabaikan. Setiap kali mencoba memperbaiki hubungan, yang ada justru semakin banyak pembicaraan buruk tentang dirinya. Rasa putus asa mulai menjalar dalam pikirannya, hingga pada satu titik, Glads mempertimbangkan untuk mengakhiri hidupnya. Lingkaran pertemanan yang seharusnya memberikan dukungan malah berubah menjadi sesuatu yang membunuh perlahan-lahan kepercayaan dirinya. Glads terjebak dalam pikiran bahwa dirinya tidak layak, dan hidupnya tidak ada artinya lagi.

Pengalaman ini berlangsung selama hampir lima tahun. Selama itu pula, Glads merasa dirinya hanya dijadikan tempat pelampiasan bagi teman-temannya yang penuh drama dan masalah. Mereka tak pernah benar-benar mendengarkannya. Setiap kali Glads mencoba menjauh, teman-temannya selalu menariknya kembali dengan kata-kata manis yang menutupi luka-luka kecil yang telah mereka torehkan.

Glads tak ingin menjadi orang jahat, tak ingin dianggap egois. Namun, lelah yang dirasakannya semakin menggerogoti batinnya. Suatu sore, Glads duduk di kamar dengan sebuah buku di tangannya. Buku itu berbicara tentang pentingnya menetapkan batasan dalam pertemanan dan menjaga keseimbangan emosi. Setelah lama termenung, Glads akhirnya menyadari satu hal: pertemanan seharusnya membangun, bukan menghancurkan.

Keesokan harinya, Glads mengajak salah satu temannya, Mira, untuk bertemu di kafe. Dengan hati-hati, Glads memulai pembicaraan. “Aku merasa kita perlu bicara,” ucapnya.

“Ada apa? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Mira dengan nada yang terkesan basa-basi.

“Aku merasa pertemanan kita tidak lagi sehat,” jawab Glads. “Aku selalu ada ketika kamu butuh tempat curhat, tapi aku merasa tidak ada yang mendengarkan ketika aku butuh dukungan. Rasanya seperti aku hanya jadi tempat untuk melampiaskan masalah kalian.”

Mira hanya tertawa kecil, meremehkan. “Oh, Glads, kamu terlalu sensitif. Semua orang punya masalah, kamu nggak perlu mikir terlalu jauh.”

Kata-kata itu membuka mata Glads. Ini bukan sekadar perasaannya; ini adalah kenyataan. Dengan berat hati, Glads menarik napas panjang dan berkata, “Aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Aku harap kamu mengerti, tapi aku harus menjaga jarak dulu.”

Mira memandangnya dengan tatapan bingung dan sedikit kesal. “Jadi, kamu pergi begitu saja?”

“Aku nggak pergi. Aku hanya butuh waktu untuk diriku sendiri,” jawab Glads tegas.

Glads tahu langkah ini tidak mudah, tapi untuk pertama kalinya, dia merasa sedikit lega. Selama ini, dia selalu takut kehilangan teman-temannya. Namun, Glads akhirnya sadar bahwa pertemanan yang sehat tidak akan membuatnya merasa kosong seperti ini.

Waktu berlalu, dan Glads mulai fokus pada hal-hal yang ia sukai yaitu membaca buku, menulis, serta menjalin hubungan dengan orang-orang baru yang lebih positif. Di semester 8, Glads menjalani magang dan menemukan dua teman baru, Rina dan Ana, yang selalu memberikan dukungan saat Glads merasa down. Mereka membantu satu sama lain menyelesaikan skripsi, berbagi pengalaman, dan mengejar dosen yang sering kali susah dihubungi. Dengan mereka, Glads merasa dihargai dan didukung. Rina dan Ana menjadi teman sejati yang selalu ada dalam suka dan duka.

Pada akhirnya, Glads, Rina, dan Ana berhasil menyelesaikan kuliah mereka dan merayakan momen wisuda bersama. Glads merasa bersyukur karena ia akhirnya keluar dari lingkaran pertemanan yang toxic dan menemukan teman-teman baru yang membantunya tumbuh. Pengalaman ini mengajarkan Glads bahwa tidak semua orang layak dipertahankan, dan keluar dari hubungan yang merugikan adalah bentuk cinta terhadap diri sendiri. Lingkaran yang dulu mengurungnya perlahan memudar, dan Glads akhirnya menemukan jalan keluar. Bukan dengan memutus pertemanan secara drastis, tetapi dengan menetapkan batasan dan memilih untuk menghargai dirinya lebih dahulu.

Kini, Glads melangkah ke dunia kerja dengan keyakinan baru. Dia tahu bahwa akan ada banyak orang dengan karakter berbeda, tapi kini dia tahu cara menghadapi mereka. Glads telah belajar untuk membangun growth mindset dan menjadi pribadi yang lebih ramah, penyayang, dan berdampak positif bagi dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Dengan langkah ini, Glads siap untuk menghadapi dunia yang lebih besar dengan lebih percaya diri dan tanpa rasa takut akan toxic friendship yang pernah membelenggunya.

Dalam cerita diatas menyatakan bagaimana cara menghadapi toxic friendship bagi Glads dan menemukan jalan keluar dengan menjadi wanita karier yang berindependen.

Share Artikel Ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Lainnya