Ada nggak sih yang pengen jadi UX Writer, tapi belum ada experience & penasaran gimana rasanya jadi UX Writer? Nah, di sini aku mau berbagi pengalaman jadi UX Writer di sebuah start-up selama 9 bulan. Walaupun nggak begitu lama, tapi ada banyak pengalaman yang aku rasakan, baik suka maupun duka.
Jadi, gimana sih pengalamanku jadi UX Writer? Yuklah simak cerita aku😋
Sekilas tentang UX Writer
Sebagai pengantar singkat, buat yang belum tahu, UX Writer atau User Experience Writer adalah sebuah profesi yang bertugas menyusun kata-kata (di dunia UX writing biasanya disebut copy) dalam produk digital seperti website, aplikasi, dan software.
Lebih jelasnya, UX Writer harus menyusun copy yang jelas, ringkas, dan informatif supaya penggunanya lebih memahami produk dengan mudah.
Baca juga: Apa itu UX Writing? Yuk Kenali Arti, Penerapan, hingga Profesinya
Apa Aja Sukanya Jadi UX Writer?
1. Dapat Ilmu Baru!💡
Sekilas pekerjaan ini mirip dengan Copywriter atau Content Writer yang sama-sama merangkai kata. Kebetulan aku punya latar belakang di bidang tulis-menulis, terutama copywriting dan content writing. Walaupun begitu, UX Writer tetap jadi hal baru buatku. Aku pun seneng karena banyak ilmu baru yang aku dapatkan, di antaranya adalah deep research, critical thinking, dan empathy.
Sumber: Forms.app
UX Writer nggak cuma bikin kata-kata. Kreatif aja nggak cukup, semua copy yang kita pilih harus reasonable, penuh pertimbangan, dan didukung data riset yang kuat. Makanya selama jadi UX Writer, aku jadi terlatih berpikir kritis dan berargumen based on research.
Selama kerja jadi UX Writer, aku pun jadi lebih mindful membuat keputusan. Ketika memutuskan sesuatu, aku bakal pertimbangin dulu baik buruknya. Sama seperti ketika aku memilih copy dan memikirkan impact baik buruknya ke pengguna.
Lalu, karena pekerjaan ini menuntut kita untuk memahami pengguna dengan baik, aku jadi belajar lebih berempati dan peduli, terutama dengan orang-orang di sekitarku.
Ada lagi ilmu yang aku dapat ketika sering berdiskusi dengan UI/UX Designer dan Developer.
Misalnya ketika dengan UI/UX Designer, secara nggak langsung aku jadi belajar tentang design. Insight-ku tentang user experience juga jadi lebih luas, nggak cuma di UX writing. Aku juga sedikit tahu perihal teknis yang biasanya di-handle sama Developer.
2. Pengalaman Baru: Kolaborasi dengan Developer
Seperti yang aku jelaskan sebelumnya, salah satu teman kerja yang sering UX Writer ajak diskusi adalah Developer.
Bagiku, ini hal baru karena belum pernah kerja bareng mereka. Sebelumnya aku lebih sering berkolaborasi dengan tim kreatif, seperti Graphic Designer, Video Editor, dan Art Director.
Tapi ternyata kerja bareng Developer seru juga kok. Aku jadi paham, masalah apa aja yang biasanya dihadapi para Developer. Bahkan ketika mereka menyebut istilah teknis yang nggak aku pahami, mereka nggak sungkan menjelaskan artinya.
Apa Aja Dukanya Jadi UX Writer?
1. Kesepian
Konon katanya, banyak UX Writer yang nggak punya teman sesama UX Writer di perusahaan mereka bekerja. Alias, UX Writer-nya cuma mereka doang😂
Sumber: Reddit
Itu yang aku alami selama 1-2 bulan pertama jadi UX Writer. Kebetulan aku adalah UX Writer pertama di timku. Sebenarnya ada UX Writer lain. Tapi, mereka ada di branch yang berbeda dan sama sekali nggak bersinggungan dengan branch di timku.
Untungnya di bulan ke-3 aku bisa bertemu dan berdiskusi dengan UX Writer lain. Tapi sebelum itu, aku harus menjalani kerjaan ini sendirian. Beda dengan para UI/UX Designer atau Developer yang jumlahnya ada banyak, mereka lebih mudah nyari teman diskusi yang nyambung. Sedangkan aku waktu itu masih sendirian, jadi nggak ada sesama UX Writer yang relate diajak diskusi atau sekadar curhat soal kerjaan.
Makanya kondisi ini sempat bikin aku kesepian dan hilang arah.
2. Punya Banyak PR
Sumber: PlaybookUX
Sebelumnya timku belum pernah terlibat bekerja dengan UX Writer sama sekali. Karena itu, ada banyak masalah-masalah UX writing yang belum terselesaikan.
Contohnya, penggunaan istilah yang nggak konsisten, typo, kalimat yang terlalu panjang, belum adanya dokumentasi, dan penggunaan jargon (istilah yang belum tentu semua orang ngerti). Ditambah lagi, belum ada guideline penulisan. Jadi kerasa makin kacau tulisannya.
Dari sini aku bisa membayangkan, akan ada banyak PR yang harus aku tangani satu persatu. Tapi, di sisi lain aku juga tertantang dan menganggap hal ini sebagai kesempatan emas buat mengasah skill-ku sebagai UX Writer.
3. Kadang Berasa Nggak Dianggap
Dari pengalamanku sendiri, aku melihat UX Writer terkadang dianggap kurang penting.
Ada banyak kejadian yang membuatku punya statement kayak gini. Contohnya, kalau ada revisi copy, yang dikasih tahu justru UI/UX Designer. Alasannya, biar revisinya lebih cepat. Padahal UX Writer juga berhak tahu apa aja yang perlu direvisi. Kita juga perlu catatan revisi untuk jadi bahan evaluasi.
Selain itu, UX Writer jarang dilibatkan di proses awal development produk. Biasanya UX Writer baru dilibatkan setelah design buatan UI/UX Designer selesai.
Padahal, menurutku, baiknya UX Writer juga terlibat di tahap awal development biar bisa memahami produk secara keseluruhan. Nggak menutup kemungkinan juga, UX Writer bisa share ide dan saran terkait produk supaya kualitasnya lebih baik lagi.
Sumber: Yuval Keshtcher – UX Writing Hub
Beberapa kali juga aku denger cerita UX Writer di perusahaan lain yang sulit mendapatkan akses file di Figma (sebuah design software yang umum digunakan UI/UX Designer). Biasanya, alasannya karena design belum selesai.
Padahal, dengan ngasih akses file lebih awal, UX Writer punya lebih banyak waktu untuk mempelajari produknya. Bahkan, UX Writer bisa mengerjakan lebih awal lho. Kalau gini kerjaan jadi lebih efisien. Ya kan?
4. Hasil Kerjaan Belum Tentu Di-apply ke Produk
Terkadang copy yang udah aku buat belum tentu diterapkan semuanya ke produk. Biasanya karena proses development produk dilakukan bertahap, jadi copy harusnya ikut diterapkan ke produk secara bertahap. Harusnya…🥲
Sayangnya, terkadang ada juga copy yang ujung-ujungnya nggak di-apply ke produk karena ada issue lain yang diprioritaskan.
Pernah juga, copy yang udah aku tulis tiba-tiba diganti sepihak oleh kolega lain, seperti Product Manager. Di sini aku jadi merasa sedih dan sempat mikir kalau copy buatanku jelek banget sampai-sampai direvisi sendiri sama Product Manager.
5. Harus Bersaing dengan AI
Sumber: Yuval Keshtcher – UX Writing Hub
Memang kini hampir semua kerjaan bisa digantikan oleh AI. Tapi, aku harus mengakui bahwa pekerjaan yang pertama kali terdampak oleh perkembangan AI adalah writer, dan salah satunya ya UX Writer.
Pun harus kuakui, banyak AI tools UX writing yang luar biasa. Hasilnya nggak kalah keren dari copy buatan manusia asli.
Ada rasa takut kalau AI bakal menggantikan UX Writer ini suatu hari nanti. Di sisi lain, AI juga membantu kerjaanku. Banyak ide copy yang aku kembangkan berkat bantuan AI. Bisa dibilang AI udah jadi teman sekaligus saingan.
Aku sendiri harus belajar lebih ekstra. Mungkin nggak akan bisa mengungguli kecerdasan AI di masa depan, but at least my skills are worth a look.😉
Kurang lebih itu dia suka duka pengalamanku jadi UX Writer. Kalau dilihat-lihat, lebih banyak dukanya ya🥲
Walaupun begitu, aku tetep cinta sama profesi satu ini. Duka yang aku alami justru jadi tantangan supaya lebih belajar dan berkembang lagi. Lagipula, kekuranganku masih banyak.
Perlu diingat, cerita ini berdasarkan pengalamanku pribadi ya. Tentunya tiap UX Writer punya pengalaman yang berbeda-beda, tergantung lingkungan perusahaannya.