Dalam ringkihan badan yang tak menentu,
pilu terasa lebih pilu lagi membiru
seperti kata Kunto Aji dalam lagunya,
tak ada yang seindah matamu
Saat menatapmu aku sadar, kita hanya dua manusia,
yang saling bersitegang dalam keramaian manusia,
yang sedang bercerita, bercanda, juga bercita dan bercinta,
sudah lama sekali, bukan, kita menantikan pertemuan ini?
Katamu, “Tak penting lagi seteguk kopi susu itu.“
Kamu hanya memintaku memandang dan memintal rasaku.
berpikir ulang-ulang soal cita-cita dan tata masa depan,
“Apakah iya, semudah itu kau lakukan itu?”
Tanpa sadar napas yang tadinya mengalir teratur, kini tersendat isak
juga pikiranku yang tak menentu kala itu,
aku hanya bisa memainkan botol kecil di jemariku,
meski itu tak bisa mengubah apapun,
tentang keputusanku
Meski berat katamu, seberat kamu menahan tangis,
kita perlu melangkah sedikit,
dalam renungan hari-hari belakang,
dan malam-malam yang terlanjur panjang
Meski mudah berurai kata, tetapi sulit bersikap,
katanya, hidup harus terus berlanjut,
meski kau pangkas segala yang ingin kutumpahkan padamu kala itu,
lagi-lagi dalam lagunya Kunto Aji yang selalu bersambut,
masih banyak yang belum sempat, aku katakan padamu
Derai angin tak berhenti,
cuaca baik yang tak lagi bersambut dengan cerita baik,
setidaknya kita pernah mengalami dua momen berharga,
pada pertemuan pertama kita:
“Wah, cuaca mendukung sekali hari ini!”
Seperti selanjut-selanjutnya yang kita namai sebagai
hari baik tiap tahunnya,
yang mungkin tidak ada lagi, nantinya
Lalu katamu seperti salam-salam perpisahan pada umumnya:
“Jaga diri baik-baik,” dengan senyum getirmu,
dan tangan yang tak bisa kusambut lagi,
sebab pilu di atas meja abu itu,
memelukku lebih lama dari biasanya.
Baca juga: Lokomosi