Sekilas langit masih terlihat gelap. Namun bila melihat ke arah kaki langit timur, cahaya putih perlahan mulai menyapu kegelapan. Waktu yang tepat untuk mulai menghirup udara segar di taman belakang rumah dan melakukan sedikit peregangan, sangat menyegarkan dan menenangkan.
Ini adalah hal yang sudah lama tidak kulakukan. Biasanya di waktu pagi seperti ini aku masih terlelap karena begadang menyelesaikan pekerjaan kantor. Namun, kali ini rutinitasku cukup banyak mengalami perubahan karena kondisi pandemi yang mengharuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah. Kondisi ini sebenarnya sungguh membuatku kesal.
Masih dalam mode peregangan, aku merasakan ada sesuatu yang menarik pelan ujung bajuku. Secara reflek aku menoleh menuju sumbernya. Kiki, putra sulungku yang sebentar lagi akan memasuki umur 8 tahun.
“Mama.. Tumben udah bangun,”
Aku hanya tersenyum kikuk sembari mengelus kepala Kiki. Bingung harus merespon seperti apa karena sebenarnya aku merasa tersindir.
“Biasanya Kiki sama Sarah olahraga berdua disini. Karena sekarang Mama yang duluan ada disini, Kiki sama Sarah boleh ikut?”
Aku hanya mengangguk. Kiki tersenyum sesaat setelah mendapat persetujuanku dan dengan cepat berlari masuk ke dalam rumah. Dari tempatku berdiri, aku mendengar Kiki berteriak memanggil Sarah, adiknya. Aku terkejut karena cukup sekali panggil Sarah langsung merespon dan menuruti panggilan kakaknya meski menggerutu.
Kiki keluar rumah dengan membawa dua buah matras. Sarah menyusul beberapa langkah di belakang kakaknya sambil memeluk boneka kelinci putih yang hampir seukuran tubuhnya.
“Kakak, masih ngantuk,” Sarah mengadu dengan suaranya yang masih parau. Kiki yang baru saja meletakkan matras di taman langsung menghampiri dan menggandeng Sarah menuju wastafel di dekatnya.
“Cuci muka dulu, oke?” kata Kiki sambil menyeret sebuah kursi ke dekat wastafel. Sarah langsung menuruti kakaknya dan naik ke atas kursi untuk mencapai wastafel.
Sarah yang masih setengah sadar menyerahkan bonekanya pada Kiki. “Tolong gendong Lala dulu,” Sarah mulai membasuh wajah setelah memastikan Kiki menggendong boneka kesayangannya dengan baik.
Masih dengan rasa terkejut. Oh, ternyata Lala itu nama bonekanya, pikirku.
Tak lama kemudian suara air kran berhenti. Kiki berjalan kembali ke taman. Sarah yang baru selesai mengelap wajahnya dengan handuk tiba-tiba berlari mendahului Kiki.
“Kakak, gelar di sini aja. Disini luas,” Sarah melompat-lompat di tengah taman yang jaraknya sekitar lima langkah dari posisiku berdiri.
Kiki langsung membawa matras ke tempat yang Sarah maksud dan menggelarnya disana. Sarah tertawa kegirangan. Ia langsung melompat ke atas matras sesaat setelah digelar.
“Mama.. Katanya mau olahraga?”
Panggilan Kiki membuyarkan lamunanku. Aku baru sadar kalau sedari tadi aku hanya memperhatikan mereka dan kini aku menghampiri mereka untuk kembali memperhatikan dengan jarak yang lebih dekat. Aku tak tahu kalau Sarah bisa selucu ini berusaha mengikuti Kiki yang sedang berdiri dengan satu kaki. Sarah terus mencoba mengangkat kakinya meski berkali-kali turun karena tidak seimbang.
“Mama.. Kata Papa, Mama pernah juara lomba balet?” Sarah dengan suara kecil bertanya padaku.
Aku mengangguk.
“Juara berapa?” tanya Sarah lagi. Belum sempat kujawab, Sarah buru-buru menyela. “Ah, maaf Mama. Itu Lala yang tanya, bukan Sarah,” Sarah mengangkat dan menutup wajahnya dengan boneka kelincinya.
Butuh beberapa saat untukku bisa menjawab, “Kalau Sarah yang tanya juga boleh kok!”
Sarah mulai menurunkan boneka kelinci yang menutupi wajahnya. “Tapi Sarah nggak mau dipukul Mama,”
Aku terdiam. Ini sudah dua pekan sejak aku meminta maaf pada keluarga kecilku, tapi ternyata Sarah masih takut padaku. Tolong, aku ingin menangis..
“Sarah, kan Mama udah janji nggak akan mukul lagi,” Kiki yang sudah menyelesaikan peregangannya pun duduk sambil memainkan rumput taman.
“Mama janji nggak akan pukul Sarah lagi, kan?”
Aku mengangguk sambil berusaha menahan tangis.
Sarah tertawa girang dan langsung lompat memelukku hingga hampir terjungkal. Aku balas memeluk Sarah dengan air mata yang sudah tidak bisa ditahan lagi.
“Mama, kenapa nangis?” Sesaat kemudian Sarah meletakkan boneka kelincinya di depanku sebelum akhirnya berlari masuk ke dalam rumah.
“Kiki, kenapa mau maafin Mama? Pasti sakit kan Mama pukulin terus?”
“Sebenarnya sakit sih. Tapi sekarang Kiki kuat kok. Kalau dipukul teman udah nggak kesakitan lagi, hehe”
Jawaban yang sangat polos, jujur, dan membuatku semakin tidak tenang. “Mama minta maaf,” Air mataku semakin tak bisa dibendung.
“Kenapa minta maaf?”
“Mama sering marah, sering pukul Kiki sama Sarah,”
Kiki ber-ohh ria. Responnya membuatku semakin merasa bersalah. “Nggak papa, Ma. Yang penting Mama nggak ulangi lagi. Kiki juga minta maaf kalo kemarin-kemarin sarapannya sempat nggak enak, Mama jadi nggak mau makan di rumah. Kan Kiki nggak jago masak,”
Seketika aku terdiam. Sebentar, aku ingat, ini kejadian sekitar tiga bulan yang lalu tepat sebelum pandemi. Aku marah besar karena sarapan hari itu sangat tidak enak. Pagi itu aku harus buru-buru ke kantor karena ada meeting. Belum lagi rumah sangat kotor sampai membuat moodku hancur. Aku memarahi semua orang di rumah lalu pergi begitu saja.
“Kiki yang masak?”
Kiki mengangguk. “Iya. Soalnya Kiki kasian sama Papa tangannya sakit sampai di perban. Dokter bilang tangan Papa ada yang retak jadi Kiki suruh Papa istirahat dulu biar cepet sembuh,”
Lagi-lagi aku terdiam. Sungguh, aku sangat egois, selalu ingin di mengerti tetapi tidak mau mengerti orang lain. Aku tidak tahu suamiku sakit bahkan perban yang seharusnya bisa kulihat pun aku tidak melihatnya karena mengutamakan diri sendiri. Aku tidak tahu kalau Lala yang selalu Sarah panggil setiap aku memukulnya ternyata adalah boneka. Dan aku tidak tahu kalau Kiki sedewasa ini memandang sikapku yang sangat kekanak-kanakan.
“Mama, ini minumnya!!” teriakan Sarah spontan membuat tangisku berhenti. Sarah melangkah pelan dari dalam rumah membawa gelas berisi air dengan sangat hati-hati.
“Sarah, sini Papa bawain gelasnya..” Suamiku ikut berjalan pelan di samping Sarah.
“Nggak mau. Sarah mau bawa sendiri,”
Mulai dari sini akhirnya aku bisa tertawa. Aku tidak menyangka momen seperti ini sangat menenangkan hatiku. Aku beranjak dari tempatku duduk, berjalan mendekati Sarah yang masih membawa gelas, kemudian berlutut di depan Sarah sambil membuka kedua telapak tanganku. “Untuk Mama kan?”
Sarah mengangguk dan langsung memberikan gelas itu padaku.
“Makasih ya,”
Kulihat suamiku terkejut, namun sesaat kemudian dia tersenyum. Ini adalah senyuman yang sama ketika aku marah padanya. Senyuman tulus yang terbit bahkan ketika aku sedang marah?! Keterlaluan sekali diriku sudah menyia-nyiakan keluarga yang baru kusadari ternyata begitu berharga.
“Pa, pernah retak tangan kenapa nggak bilang?” aku berbisik di dekat suamiku.
“Mau bilang udah keburu marah. Heran juga kenapa nggak peka sama sekali padahal jelas-jelas ada perban di tangan. Tapi nggak papa, toh sekarang udah sembuh,” jawab suamiku santai.
Baik, ternyata aku jauh lebih keterlauan dari yang kupikir. Aku sudah tertampar berkali-kali dengan kejadian pagi ini, membuatku sadar bahwa aku adalah seorang ibu dan istri yang sangat tidak tahu diri. Tapi ini jauh lebih baik karena aku menyadari kesalahanku dan akan berusaha menjadi lebih baik lagi.
Aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur atau melaknat pandemi ini. Tanpa pandemi mungkin aku takkan pernah menyadari kesalahanku, meski nyatanya pandemi juga mempersulit perekonomian keluarga. Tapi yasudahlah, setidaknya sebagai pembelajaranku kurasa pandemi ini tidak terlalu buruk.