Pernah nggak sih nemu perdebatan netizen di medsos yang argumennya bikin kamu geleng-geleng kepala? Atau, kamu malah pernah debat sama mereka dan nggak ada ujungnya? Eh, nggak usah jauh-jauh deh. Pernah nggak kamu debat sengit sama temen, pacar, atau keluargamu sendiri di dunia nyata? Terus bukannya dapet solusi malah dapetnya emosi😤
Hmm…. Bisa jadi, penyebabnya adalah karena ada kesalahan logika berpikir atau kita sebut aja logical fallacy. Entah itu dari kamu sendiri ataupun lawan bicaramu.
Tanpa sadar, kita bisa saja terjebak dalam logical fallacy. Hal ini bikin kita susah buat berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat. Bayangin aja, kalau kita nggak bisa bedain mana argumen yang benar dan mana yang salah, kita gampang banget dimanipulasi.
Nah, biar nggak tersesat karena logical fallacy, yuk kita pelajari bareng. Apa aja sih logical fallacy yang sering kita temui di kehidupan sehari-hari?
1. Ad Hominem
Sumber: makeameme.org
Pernah nggak kamu ngelihat orang yang ketika berargumen, bukannya fokus ke masalah atau ide yang disampaikan, eh malah ngeremehin dan nyerang pribadi lawannya. Contohnya kayak gini:
“Ah, jamet mana ngerti issue kayak gini?”
“Lo tuh cuma wibu. Nggak usah sok tahu deh!”
Nah, bentuk argumen dan pemikiran kayak gini namanya ad hominem. Padahal, ketika menanggapi suatu hal, harusnya kita fokus ke apa yang disampaikan, bukan ke siapa yang menyampaikan. Walaupun yang menyampaikan adalah sosok yang kita sukai, kita harus tetap menilai ide dan argumennya dengan objektif. Kalau yang disampaikan benar,
2. Straw Man
Sumber: Grammarly
Kesalahan logika berpikir straw man adalah ketika seseorang terlalu menyederhanakan atau memutarbalikkan argumen lawan secara keliru, lalu menyerangnya dengan kesimpulan yang keliru itu dan bahkan dilebih-lebihkan. Biasanya pemikiran straw man ini bisa membuat perhatian kita teralihkan dari isu utama.
Misalnya gini. kamu bilang ke temanmu: Aku suka deh cowok yang enggak ngerokok, soalnya dia peduli sama kesehatannya, entah itu buat dirinya sendiri ataupun orang di sekitarnya.
Terus, temanmu jawab: Jadi maksud lo, semua cowok yang ngerokok itu enggak peduli sama kesehatan dan nggak pantes buat disukain gitu? Idih sok suci banget lo!
Nah, temanmu ini sedang melakukan kesalahan logika straw man. Dia membesar-besarkan pernyataanmu jadi sesuatu yang berlebihan dan jauh dari konteks. Padahal, kamu cuma bilang kalau kamu suka cowok yang enggak ngerokok. Kamu nggak ngejelek-jelekin cowok yang ngerokok.
3. False Dichotomy
False dichotomy adalah ketika kita dipaksa memilih antara dua pilihan yang sudah ditentukan, padahal sebenarnya ada banyak pilihan lain yang mungkin lebih cocok.
Analoginya kayak gini. Kamu lagi mampir ke toko baju sama orang tuamu. Terus di situ orang tuamu udah kasih kamu pilihan: mau baju yang warna biru atau hijau?
Padahal kamu tahu, di toko itu ada banyak banget pilihan warna dan style yang bisa kamu pilih. Kamu pun sebenarnya nggak harus milih baju yang dipilihin orang tuamu.
Terus gimana contoh pernyatan yang sifatnya false dichotomy di kehidupan sehari-hari? Kurang lebih kayak gini:
“Kamu harus tentuin sekarang, habis ini mau lanjut kuliah atau langsung kerja.” (Padahal ada banyak pilihan yang bisa kita lakukan, seperti ambil gap year, ikut course, atau bikin bisnis sendiri.)
“Oh, kalo kamu nggak milih partai A, berarti kamu pendukung partai B ya?” (Padahal belum tentu kita pendukung partai B. Bisa aja kita pendukung partai di luar A dan B, atau malah nggak mendukung partai manapun.)
4. Slippery Slope
Sumber: makeameme.org
Kesalahan logika berpikir slippery slope adalah ketika kita melihat sebuah peristiwa kecil, tapi udah langsung membayangkan hal-hal terburuk yang mungkin terjadi tanpa ada bukti yang kuat.
Kayak istilahnya, yaitu slippery slope, pikiran kita ibarat kita terpeleset di lereng licin dan meluncur tanpa henti. Sekali pikiran kita terpeleset, ia akan meluncur ke satu kejadian ke kejadian lainnya.
Contoh slippery slope ini mungkin bisa kita temui di diri sendiri, terutama buat kamu yang suka overthinking. Misalnya kayak gini:
Tadi aku nggak bisa jawab semua soal. Pasti nilai ujianku jelek. Pasti nanti dimarahin orang tua. Terus aku nggak bakal bisa masuk universitas impian. Udah nggak ada harapan lagi. Masa depanku hancur.
Baca juga: Mengenal Unlearn: “Melupakan Ilmu” Demi Belajar yang Lebih Baik
Padahal, belum tentu lho nilai ujianmu jelek. Mungkin saja kamu mendapatkan nilai yang bagus atau bahkan melebihi ekspektasi. Belum tentu kamu nggak diterima di universitas impianmu, karena ada banyak faktor dan penentu agar bisa diterima di sana. Nggak cuma sekadar nilai bagus. Kalaupun kamu nggak diterima di universitas yang kamu mau, bukan berarti juga masa depanmu hancur.
5. Hasty Generalization
Hasty generalization adalah ketika kita langsung menarik kesimpulan dari beberapa hal yang kita temui dan alami. Contohnya, kita ambil dari sebuak jokes dari stand up comedy Raditya Dika, “Semua cowok sama aja, kalo nggak bajingan ya homo.“
Padahal, nyatanya nggak semua laki-laki seperti itu. Masih ada laki-laki yang baik dan menghargai perempuan. Mungkin, kita emang belum ketemu aja dengan laki-laki seperti itu.
6. Post Hoc Ergo Propter Hoc
Sumber: westwing.fandom.com
Post hoc ergo propter hoc itu bahasa Latin artinya “Setelah ini, jadi karena ini”. Lebih jelasnya, post hoc ergo propter hoc adalah ketika kita langsung menyimpulkan bahwa suatu peristiwa terjadi karena peristiwa sebelumnya, padahal belum tentu benar begitu.
Kesalahan berpikir seperti ini bisa kita jumpai di lingkungan sekitar kita, terutama yang masih lekat dengan mitos dan tahayul.
Contohnya seperti ini. Waktu ujian, kamu pakai kalung jimat dari kakekmu. Setelah itu, kamu ternyata lulus ujian. Jadi, kamu berpikir, kalung itulah yang bikin kamu lulus. Padahal, kelulusanmu itu karena kemampuanmu sendiri. Hanya saja, kebetulan di hari itu kamu pakai kalung jimat. Jadi, keberhasilanmu seolah-olah berkat kalung itu.
Itulah beberapa jenis kesalahan logika yang sering kita temui. Hayoo siapa yang masih terjebak logical fallacy kayak di atas? Jangan ya dek yaa.
Coba yuk lebih kritis dan bijaksana dalam berpikir, biar nggak mudah terjebak sama pemikiran yang blunder dan nggak masuk akal.
Referensi:
- Bennet, Bo. Logically Fallacious. eBookIt.com. 2012.
- Bluedorn, Nathaniel, and Hans Bluedorn. The Fallacy Detective: Thirty-Eight Lessons on How to Recognize Bad Reasoning. Christian Logic. 2009
- Dobelli, Rolf. The Art of Thinking Clearly: Better thinking, Better decision. London. Sceptre (Hodder & Stoughton Ltd). 2013.