Jika harus membayangkan imaji sebuah kota suburban di tengah-tengah Eropa, pikiran saya selalu melayang ke suasana kota ramah pejalan kaki, teras teduh pertokoan, dan mendung menggelayuti langit. Nggak tahu kenapa. Sila salahkan Richard Linklater dan trilogi ‘Before’ miliknya.
Siang itu di Landgraaf, Belanda, 8 Juni 1992, agaknya imajinasi saya meleset jauh. Cuaca lebih buruk dari itu. Hujan petir barusan mendera, mendung belum beranjak sedikitpun, langit masih memutih, dan gerimis sering datang lagi dan lagi.
Meski begitu, seakan acuh tak acuh kepada sabda sang alam, orang-orang menaiki bis kota dan berduyun-duyun menuju Burgemeester Damen Sportpark, tempat salah satu festival musik tertua di dunia diadakan rutin hingga kini, Pinkpop Festival.
Pemandangan langka, tentu saja, melihat ribuan orang dengan rapi berjalan kaki menonton pagelaran musik di tengah kota kecil. Sebuah fakta remeh yang berbicara banyak sekali tentang kualitas pemerintahan, tata kelola kota, angkutan massal, dan masyarakat yang madani. Yang seperti itu mungkin hanya ada di Eropa.
Atau mungkin saya saja yang kelewat katrok.
Grunge, Mereka Menyebutnya

Chris Cornell dari Soundgarden. Foto: Pinkpop Festival 1992
Soundgarden sedang menjalankan tur promosi album ketiga mereka, Badmotorfinger (1992) dan hampir menyelesaikan set-nya. Tinggal tiga lagu lagi sebelum mereka harus segera bertolak ke Manchester untuk membuka Guns N’ Roses yang juga sedang menyelesaikan rangkaian tur Use Your Illusion.
Di hadapan puluhan ribu pengunjung Pinkpop, mereka terlihat natural dan lihai, sama sekali tidak gentar dengan hujan petir yang kembali melanda, genangan air di mana-mana, atau audiens eropa yang masih saja peduli setan dengan itu semua.
Chris Cornell, pemain gitar ritem sekaligus pengisi vokal, dengan cekatan memainkan riff bagiannya sambil leluasa mengakses register tinggi dalam rentang oktaf vokalnya yang seakan tak punya batas atas. Nomor “Rusty Cage” dia libas mudah saja. Performa yang sungguh-sungguh solid meskipun ketiga rekan bandnya terlihat super tinggi.
Terutama si pemain bass baru, Ben Shepherd.
Ketika kamu melihat Shepherd bermain, sukar dipercaya kalau dia bisa bermain sebagus itu. Lihat saja cara dia menggantung strap bass-nya, tidak tanggung-tanggung: setinggi tulang kering kakinya. Selain membuat Fender P-Bass miliknya kerap kali mengepel lantai, posisi strap serendah itu juga membuat punggung jangkungnya bengkok sebungkuk-bungkuknya.
“Jesus Christ Pose” adalah nomor cepat yang penuh dengan alternate picking bertempo tinggi. Seperti nama tekniknya, idealnya kamu butuh sebuah pick untuk pekerjaan seperti itu. Itu tidak berlaku bagi Shepherd. Persetan dengan pick. Persetan dengan postur sempurna. Jika seandainya Sheldon Cooper memutuskan untuk menjadi gondrong dan punk rock, maka pasti dia bakal terlihat seperti Shepherd.
Hujan semakin deras pada nomor penutup “Slaves & Bulldozers” dimana mereka memanjangkan lagu berdurasi 5 menit tersebut menjadi 10 menit lebih. Eksperimen tambahan yang betul-betul ciamik itu dipimpin oleh gitaris lead Kim Thayil. Derau overdrive dan flanger menggantung di udara.
Air hujan masih menggenang di sisi kanan Thayil saat dia mendekat ke tumpukan ampli Marshall di belakangnya. Dia mencoba mencari-cari pantulan feedback paling memekakkan telinga dengan cara mengutak-atik tuning senar low E Gibson SG putih miliknya. Kawan-kawannya sudah cabut ke backstage dan dia masih asyik dengan senjatanya tersebut.
Cornell sudah dihadang seorang jurnalis lokal ketika itu semua terjadi. Kelelahan dan kedinginan tampak di gerak-gerik tubuhnya meski tak berdampak pada pembawaannya yang kharismatik itu sedikitpun. Matanya tetap berbinar. Suaranya tetap santai.
“I like some parts of it. But it’s so loud all over. It’s constantly loud,” sergah si jurnalis itu menyatakan kebingungannya mencerna musik Soundgarden.
“I know.. Can you believe it?” balas Cornell.
“………” si jurnalis itu mendadak mati kutu. Sepertinya dia tak memahami sedikitpun guyonan sarkas khas bocah Seattle yang dilemparkan Cornell dengan riang gembira itu. Ciri khas orang yang ke Eropa-Eropaan: terlalu rasional.
Atau mungkin dia murni kebingungan?
Bagaimanapun juga ini adalah Pinkpop, salah satu festival musik rock paling tua dan paling disegani di dunia. Mungkin dia masih tidak habis pikir dengan apa yang barusan dia saksikan: heavy metal free noise super kencang dengan tema pemberontakan akan ketenaran dan kemapanan.
Mengingat beberapa bulan kebelakang tangga lagu Billboard masih disesaki dengan gemerlap centil hair metal ala Poison, Warrant, dan Skid Row, segalanya masih terdengar tak masuk akal.
Ketika Revolusi Terlanjur Meletus

Layne Staley dari Alice in Chains. Foto: MTV
Gelaran Pinkpop Festival tahun itu punya nilai sejarah besar sekali bagi perkembangan musik grunge. Selain kita melihat satu set super solid dari Soundgarden, kita juga melihat aksi panggung Pearl Jam yang sukses membuat semua mata masyarakat rock dunia memandang takjub.
Waktu itu mereka meng-kover “Rockin’ in the Free World” milik Neil Young dan si vokalis bengal Eddie Vedder mempunyai ide sinting untuk memanjat crane kameramen lalu salto dari sana.
Sebulan dari aksi gila Soundgarden dan Pearl Jam di Pinkpop, Layne Staley dari Alice in Chains tampil di Oakland menggunakan kursi roda dan kruk. Kaki kirinya terbebat gips setelah terjadi insiden belakang panggung. Sudah barang tentu itu tidak menghentikan dia sedikitpun untuk crowd surf ke muka penonton.
Awal dekade 90an adalah tahun yang sibuk bagi siapapun yang bergerak di dalam pemberontakan alternatif rock terhadap glam metal genit. Nirvana baru saja merilis Nevermind (1991) dan dunia langsung berubah 180 derajat.
Apa yang dilakukan Cornell, Vedder, Staley dan kawan-kawan ini adalah barang baru. Segala hal yang memadukan heavy metal, hardcore punk, free noise, dan estetika slackerdom ikut meledak ke pasar musik arus utama.
Grunge, mereka menyebutnya.
Setelah Nevermind oleh Nirvana, sekawanan album grunge lain yang masih di satu ekosistem skena musik Seattle ikut meledak secara berantai. Pearl Jam dengan debutnya yang luar biasa, Ten, Soundgarden dengan Badmotorfinger, Alice in Chains dengan Facelift, dan sebuah band dari Chicago bernama The Smashing Pumpkins dengan Siamese Dream.
Yang gila lagi jika dipikir-pikir adalah, ini semua hanya permulaan.
Soundgarden nantinya akan merilis Superunknown (1994), Alice in Chains akan merilis Dirt (1992), Pearl Jam akan merilis Vitalogy (1994), The Smashing Pumpkins akan merilis album ganda Mellon Collie and The Infinite Sadness (1995), band baru dari California bernama Stone Temple Pilots akan merilis Core (1992) dan Purple (1994), dan pada akhirnya Nirvana akan merilis In Utero (1993).
Semua rilisan mahadahsyat tersebut bertindak layaknya paku pada peti mati hair metal yang sudah sedemikian terperosok ke dalam jurang irelevansi yang paling dalam.
Dari Los Angeles ke Seattle, kiblat musik rock bergeser begitu jauh sampai-sampai dunia tak pernah lagi sama setelahnya.
Hair metal tumbang oleh dagangan andalannya sendiri: sex, drugs, and rock n’ roll.