Ketahanan pangan Indonesia menjadi sektor yang berpengaruh terhadap perekonomian terutama pada kualitas sumber daya manusia.
Hal ini merupakan topik yang diangkat dalam acara “Bagaimana Masa Depan Ketahanan Dan Keanekaragaman Pangan Indonesia”. Acara ini diadakan oleh National Geographic Indonesia dan KEHATI pada 10 Oktober 2024, bertempat di House Of Izara Jakarta Selatan.
Acara ini turut menghadirkan:
- Puji Sumedi Hanggarawati, Manajer Program Pertanian KEHATI, sebagai narasumber utama
- Irfan Martino, Koordinator Bidang Pangan Direktorat Pangan dan Perencanaan Pembangunan Nasional(PPN)/Bappenas
- Sjamsul Hadi, S.H., M.M., Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Kemendikbudristek
- Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan
- dan Ade Sulaeman, Editor National Geographic Indonesia sekaligus moderator
Indonesia Belum Mencapai Pola Konsumsi Ideal
Irfan Martino menyatakan bahwa masyarakat Indonesia belum mencapai pola konsumsi yang ideal. Hal ini karena pola pangan harapan (PPH) tahun 2023 masih didominasi kelompok padi-padian, pangan hewani, dan lemak dan minyak sebesar 94%. Sementara itu, PPH untuk kelompok umbi-umbian dan kacang-kacangan masih tergolong rendah.
Beliau juga menambahkan bahwa 48% masyarakat Indonesia tidak mampu menjangkau pola diet sehat. Jadi, hampir setengah penduduk tidak mampu membeli makanan diet sehat yang sesuai.
Masyarakat lebih banyak mengkonsumsi makanan yang mengenyangkan perut saja, bukan makanan yang bergizi. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang makanan sehat bergizi dan ditambah dengan adanya tren makanan instan tidak sehat di kalangan anak muda. Hal ini pun berdampak pada kenaikan angka stunting.
Tingginya Angka Stunting dan Kaitannya dengan Ketahananan Pangan
Sjamsul Hadi, S.H., M.M. pun turut menyinggung bahwa angka stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 45% pada tahun 2022. Menariknya, di NTT juga terdapat masyarakat adat Boti tidak memiliki kasus stunting. Hal ini karena mereka memiliki kedaulatan pangan yang sangat bagus, terutama dalam menjaga benih lokal secara berkelanjutan.
Peran Masyarakat Adat Menjaga Ketahanan Pangan
Di sini kita bisa melihat peran masyarakat adat dalam menjaga ketahanan pangan. Ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pangan Indonesia, terlebih lagi dengan kondisi iklim tropis yang mendukung keanekaragaman pangan Indonesia.
Selain itu, masalah ketahanan pangan juga berasal dari maraknya makanan cepat saji, seperti burger dan sejenis roti-rotian berbahan gandum. Saat ini beras dan gandum telah menempati 28% karbohidrat Indonesia.
Kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2024 mencapai 31.2 juta ton berdasarkan prognosa neraca pangan periode Januari-Desember 2024 yang telah disusun oleh Badan Pangan Nasional. Artinya, dalam sehari konsumsi beras kita adalah 0.24 kg dikali 270 juta masyarakat Indonesia dengan total harian mencapai 64.800 juta ton.
Jika dalam seminggu masyarakat Indonesia tidak makan nasi, ini bisa mendukung ketahanan pangan negara kita. seperti yang diungkap oleh Sjamsul Hadi, S.H., M.M. bahwa kita bisa menghemat 3.37 juta ton beras dalam setahun, jika kita mendorong pangan lokal yang ada di kawasan Nusantara ini. Selain itu, hal ini juga dapat menjadi solusi apabila suatu saat terjadi kelangkaan beras.
Kemendikbudristek juga memiliki program untuk mendorong pangan lokal melalui pendekatan Wana Budaya, yaitu menggarap 29 hutan adat di wilayah Jambi.
Ada juga program gerakan generasi muda melalui sekolah makan kearifan lokal. Program ini diprioritaskan untuk wilayah NTT dengan tagline: tanam apa yang kita makan, makan apa yang kita tanam.
Pengaruh Ketahanan Pangan pada Kesejahteraan Petani dan Nelayan
Ketahanan pangan tentunya tidak terlepas dari para petani dan juga nelayan yang setiap hari bekerja keras untuk menghidupi masyarakat melalui panennya. Sayangnya, kesejahteraan petani dan nelayan kecil masih di bawah rata-rata. Walaupun harga bahan pokok terus meningkat, tetapi mereka seperti tidak kunjung mendapatkan kesejahteraan yang layak.
Menurut data yang dipaparkan oleh Said Abdullah, sumber daya yang selama ini dimiliki pemerintah masih banyak difokuskan kepada komoditas tertentu saja yaitu padi, jagung, kedelai, dan gula. Itupun rafinasi, bukan dari perkebunan langsung.
Membudayakan Kembali Konsumsi Pangan Lokal
Untuk mendorong perkembangan pangan lokal tentunya harus melalui semua lini termasuk budaya. Jika mengkonsumsi masakan cepat saji bisa menjadi sebuah budaya dalam waktu yang singkat, harusnya begitu juga pangan lokal.
“Pertama harus ada koneksi antara kultur dan makanan. Tidak hanya diproduksi tetapi juga dikonsumsi. Tidak hanya di desa tetapi juga di kota. Yang kedua, koneksi antara environment dan food. Yang ketiga, environment dengan kultur. Kalau ketiga itu nyambung, rasa-rasanya resiliensi kita akan semakin kuat.” ungkap Said Abdullah.
Dibutuhkan koneksi antara satu dan lainnya untuk menciptakan keberdayaan pangan lokal yang mumpuni.
Puji Sumedi pun turut berbagi pengalaman pangan lokal dari daerah terpencil Indonesia. Di sebagian wilayah Indonesia, salah satunya di NTT, padi dan jagung sulit tumbuh. Karena itu, masyarakat lokal beralih dengan pilihan pangan yang ada.
Puji Sumedi juga menambahkan bahwa tokoh agama ikut terlibat dalam pengembangan pangan lokal bersama masyarakat sipil. Hal-hal seperti ini seharusnya menjadi teladan.
Pentingnya peran semua lini dalam mendorong pangan lokal, termasuk bidang kesehatan, juga berpengaruh. Contohnya adalah dengan mensosialisasikan makanan yang sebaiknya dikonsumsi penderita darah tinggi atau diabetes. Oleh karena itu, KEHATI turut mengajak teman-teman yang bekerja di bidang kesehatan ikut mengenalkan pangan lokal kepada masyarakat.
Semua bidang bisa turut berpartisipasi dalam meningkatkan berkembangnya pangan lokal. Dengan ini, diharapkan masyarakat Indonesia sadar bahwa kita perlu memperhatikan apa yang kita makan. Hal ini bukan hanya berpengaruh kepada kesehatan, melainkan juga pada pola hidup kita.
Berkembangnya pangan lokal juga dapat meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Salah satunya, mengurangi konsumsi beras dapat membuat Indonesia memiliki setidaknya 3,37 juta lebih cadangan beras untuk masa depan.
Selain itu, meningkatnya kebutuhan pangan lokal yang merata dapat membantu mensejahterakan petani dan nelayan kecil. Ini karena secara perlahan kita menghentikan laju impor kebutuhan pangan berdampak pada naiknya permintaan produk pangan lokal.