“The boys will be boys”
Ungkapan di atas sebagaimana halnya telah sering kita dengarkan, baik dalam ranah publik maupun domestik.
Mungkin tidak jarang kita menjumpai perlakuan-perlakuan tidak mengenakkan yang diterima perempuan atau sebaliknya dalam ruang-ruang publik. Seperti halnya dominasi atas kaum laki-laki, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan lain sebagainya.
Apa yang disampaikan sebelumnya merupakan pembuka dari konsep “Toxic-Masculinity”, yaitu keadaan di mana laki-laki harus memiliki sifat tangguh, kuat, tidak boleh lemah.
Tentang Toxic-Masculinity
Berdasarkan studi dari Journal of School of Psychology, menguraikan bahwa toxic-masculinity ialah sebuah konstelasi dari sifat-sifat maskulin yang mengarahkan pada tindakan dominasi, penyudutan kaum perempuan dan tindakan kekerasan.
Singkatnya, kodrat yang diterima sebagai seorang laki-laki ialah harus mengedepankan sifat kejantanan di manapun ia berada. Akan tetapi, dalam toxic-masculinity ini sifat-sifat yang kerap diasosiasikan dengan laki-laki tersebut ditunjukkan secara berlebihan dan dalam beberapa situasi terkesan negatif.
Konsep ini lahir akibat dari kontruksi sosial masyarakat patriarkis. Mereka yang mendukung sepenuhnya bahwa posisi laki-laki harus lebih mendominasi di atas segalanya.
Dalam konsep ini pula merambah pada bagaimana laki-laki mengeluarkan emosinya. Seolah-olah haram bagi mereka untuk menunjukkan emosi-emosi yang dapat membuat mereka dicap “lemah”. Pada posisi ini, menangis, menyerah pada keadaan, atau terlihat tidak bergairah sangat kontra dengan kepribadian seorang laki-laki.
Maka dari itu, mungkin kita pernah menemukan beberapa laki-laki atau orang terdekat kita yang begitu pantang mengeluarkan air matanya. Karena itu hanya akan membuat mereka terlihat lemah dan tidak berdaya.
Dampak Toxic-Masculinity dalam Realitas Sosial
Apabila dibiarkan secara terus menerus, sifat-sifat maskulin yang secara berlebihan dipastikan akan sangat berefek terhadap individu itu sendiri. Lebih-lebih lagi, dampaknya akan meluas dalam segi sosial.
Dominasi yang tiada henti
Sejak kecil, anak laki-laki telah dididik untuk memiliki sifat jantan, tangguh. Bahkan mereka yang dari keluarga patriarki, dididik bahwa posisi mereka lebih tinggi dari perempuan. Sehingga ketika dewasa, pola ini akan menggiring laki-laki pada sikap “superior”, di mana kedudukan antara laki-laki dan perempuan tidaklah setara.
Dalam ruang publik, misalnya para laki-laki cenderung akan memiliki peran dan posisi di atas perempuan. Selanjutnya ini yang akan mendorong pada benih-benih dominasi di kalangan perempuan. Anggapan bahwa dengan dominan akan membawa citra laki-laki semakin baik.
Tindakan kekerasan merajalela
Buah dari toxic-masculinity juga mengajarkan kepada laki-laki bahwa tindakan fisik adalah solusi dalam penyelesaian masalah. Jika mereka tidak ingin dicap sebagai “lemah”, maka mereka harus menempuh jalan ini sebagai final dari masalah yang dihadapi.
Dalam suatu hubungan misalnya, antara laki-laki dan perempuan, biasanya perempuan paling sering memperoleh perbuatan kekerasan yang ditujukan dari si pacar laki-laki. Apabila mereka melakukan kesalahan, alih-alih meminta maaf tidak jarang mereka akan “menunjukkan kejantanan”nya melalui tindakan fisik yang dikeluarkan. Hal ini dilakukan untuk “melindungi” mereka dari kesalahan yang diperbuat tersebut.
Maraknya budaya pelecehan seksual
Tidak bisa dipungkiri, seringkali kita dihadapkan dengan berbagai kasus pelecehan seksual melalui jagat media. Korbannya tidak lain dan tidak bukan perempuan dari berbagai kalangan, remaja, lansia, hingga anak-anak sekalipun. Di sisi lain, laki-laki itu sendiri bisa menjadi korban dalam konteks “homoseksual”.
Miris bahkan sungguh memilukan karena tindakan tabu ini belakangan seolah semakin sering terjadi intensitasnya di sekitar kita. Mereka, para laki-laki, sebagai pelaku dari perbuatan ini paling sedikit yang dirugikan ketimbang korban.
Terlepas daripada itu semua, kebanyakan dari laki-laki yang mungkin belum menyadari bahwa apa yang dilakukannya atau pernah dilakukannya itu mengindikasikan toxic-masculinity. Oleh karena itu, mengetahui dan menyadarinya sedari awal merupakan langkah tepat agar tidak terjebak di dalamnya. (*/)
Baca Juga: Raya and The Last Dragon: Beautiful Depiction between Nature and Women