“Tuntutlah ilmu ke negeri Cina” perkataan yang sering dijadikan motivasi oleh para mahasiswa atau pencari ilmu di luar daerah tempat tinggalnya. Menghabiskan waktu kurang lebih 17 jam perjalanan dari Jabodetabek ke Kediri.
Culture shock adalah fenomena yang tak bisa dihindari oleh mahasiswa perantau. Transisi dari kebiasan baru ke kebiasaan lama, menjadi penyebab sulitnya beradaptasi. Harapannya, saling mengenal dan menerima dapat diciptakan oleh dua belah pihak. Tanpa adanya diskriminasi atau merasa “si paling sok” yang menghalangi pertemuan antar budaya. Ternyata gagal adaptasi sering ditemukan, si pendatang lebih merasa tidak cocok dengan budaya-budaya lokal yang ada. Biasanya susah adaptasi di lingkungan baru itu apa aja si?pasti jawabanya selalu tentang selera masakan, cara bergaul, dan bahasa.
- Bahasa Jawa tapi berlogat Betawi
Gegar/kaget budaya yang muncul dikalangan mahasiswa Jabodetabek, disebabkan perbedaan bahasa yang membuat sulit berinteraksi. Akhirnya sering kali miss presepsi diantara kami. Minimnya interaksi verbal, menimbulkan prasangka negatif. Mulai dari sombong, tak peduli dan sok kaya. Padahal enggak ada hubungan antara status sosial dengan jarang ngomong, tapi itulah kenyataannya. Akibat dari kurangnya komunikasi, teman saya bernama Hani (22) asal Jakarta dianggap sebagai orang kota yang terlalu bebas dalam pergaulan.
“Mungkin karena bahasa kita, akhirnya terkesan saya anak kota, anak berduit, sombong. Sempat kayak dijauhin teman karena mungkin mereka punya anggapan pergaulan saya dulu terlalu bebas, padahal tidak.”
Apakah dengan anggapan ini, kami sebagai perantau di Kediri akan terbawa perasaan? Oh tentu saja tidak. Agar terhindar dari prasangka tadi, mempelajari bahasa lokal menjadi suatu hal yang diharuskan. Dengan sering mengucapkan,
“wes mangan durung mas?”
“ngko ngopi ning ndi?”
“mas jaluk udud’e nggih?”
Kosa kata harian seperti itu yang sering dilontarkan oleh teman-teman Jabodetabek. Nada tinggi ciri khas Betawi, menyelimuti tutur kata bahasa Jawa kami. Dengan mencoba mencari kosa kata Indonesia, kemudian diterjemahkan ke bahasa Jawa menjadi modal untuk berkomunikasi.
Tak hanya sampai tahap praktik, acapkali mahasiswa lokal menggubris tidak enak. Seperti kejadian yang dialami oleh Sulhan (22) mahasiswa asal Bekasi, sering merasa jengkel dengan perlakuan teman lokalnya. Usaha berbicara bahasa Jawa terlihat sia-sia, karena dianggap logatnya kurang cocok.
“gua gamau bisa bahasa Jawa meski paham. Soalnya pernah pas gua nyoba ngomong Jawa mereka ngomong Indonesia, giliran dibailikin lagi Indonesia malah bales Jawa, ini mau nya apa sih. Dan mereka sering banget bilang, kamu ga pantes ngomong Jawa. Yaudah gua balikin lagi lah lu juga gak pantes ngomong Betawi. “
Akhirnya Sulhan lebih memilih berbahasa Indonesia dari pada harus mencoba untuk berbahasa Jawa. Dalam penuturan bahasa, memang terdapat logat kekhasan dari tiap daerah, namun apa salahnya jika logat tidak dipermasalahkan. Hal terpenting adalah pesan yang disampaikan dapat terpahami dengan mudah.
Dilain sisi, Ilham (22) asal Jakarta tetap mempelajari dan mengucapkan bahasa Jawa, meski terkesan lucu dan berbelit.”Bisa, tapi kadang belibet, terasa aneh dan lucu,” ucap Ilham. Kadang perilaku kurang mengenakan juga diterima dirinya, tapi ia memilih menyikapi dengan cuek selagi tidak mengganggu kehidupan.
Perlakuan-perlakuan yang diterima sebenarnya sebagai adaptasi dari warga lokal terhadap kami, namun sangat disayangkan ternyata prilaku yang mereka anggap “bercanda” ternyata terbawa sampai ke perasaan oleh kami. Pertemuan antar budaya yang diterapkan dalam interaksi bahasa maupun kebiasaan seharusnya menjadi sebuah kesinambungan berkelanjutan. Kedatangan para perantau Jabodetabek ke Kediri sebagai promosi terhadap budaya yang belum pernah ditemui, sedangkan di pihak tuan rumah lebih menunjukan sikap ramah tanpa judging berlebih.
- Masakan hambar sampai gak nyambungnya nasi uduk dengan lauk.
Ragam jenis masakan khas Kediri tersedia di kawasan kampus, dari Pecel Tumpang, Pecel biasa (nasi dengan lauk sayur di siram saus kacang), dan tahu takwa, tetapi masakan itu, tidak bisa memenuhi rasa kangen mahasiswa Jabodetabek ke semur jengkol. Sampai – sampai Syahhrul (23) yang akrab dipanggil Alung ini, lebih memilih makan nasi Padang agar betah di Kediri.
“Adaptasi paling sulit dimakanan, rasanya aneh banget, gak asin, gak manis, dan gak pedes juga. Masa nasi goreng pake saos. Terus nasi uduk sama nasi kuning lauknya ga nyambung. Semur jengkol susah banget dicari. Solusinya nasi padang sih.”
Nyatanya bukan hanya rasanya saja yang membuat mahasiswa Jabodetabek susah untuk beradaptasi, bahan-bahan yang digunakan memasak agaknya kurang familiar di mata dan lidah. Akhirnya kami sering juga mengadakan “rujakan” atau “ngariung” dengan memasak khas dari Jabodetabek.
Ucapan pepatah “tak kenal maka tak sayang”, ungkapan yang cocok untuk perantau mengenal daerah rantaunya. Inilah suka duka merantau ke kampung orang. Perantau seperti kami mungkin sulit untuk berdaptasi, dengan kebiasaaan yang tidak pernah kami temukan sebelumnya. Namun kami sadar tujuan merantau bukan sekedar menimba ilmu akademik saja, tapi mengenalkan budaya serta karakteristik kekhasan dari daerah kami.
Banyak anggapan bahwa gegar budaya hanya berlaku pada budaya antar negara. Nyatanya culture shock masih terjadi pada interaksi budaya seperti antara Jabodetabek dan Kediri. Anggapan ini sering muncul karena culture shock yang terjadi antar suku di Indonesia, selalu di anak tirikan dan disepelekan. Kita sebagai warga Indonesia yang memilki 38 provinsi, 718 bahasa daerah, dan 1.340 suku bangsa, harusnya lebih peka terhadapa perbedaan serta dapat memperkenalkan budaya masing-masing dan saling menerima satu dengan yang lainnya.
Catatan: wawancara dilakukan pada 14 Mei 2024 di Ngronggo Kediri