“Terima kasih, Pakdhe!”
Suara seorang pria tua tepat di samping gerobak Bakso Pak Mudadi, di antara riuh suara pelanggan yang memesan semangkuk bakso atau mengurut pesanan yang hendak dibayar. Pria itu tidak keduanya–dia baru saja mendapat pinjaman uang lagi dari bapak. Langkahnya menjauh agak terbirit, segera kudekati bapak, “Baru minggu lalu dia pinjam bapak sejuta, ‘kan?”
Seperti biasa, bapak hanya tersenyum sembari menghela nafas. “Langganan, itu. Nanti juga dibalikin.” pikirku menerka ucapan bapak sedetik lebih awal dari ujarannya.
Aku hafal ucapan bapak bukan karena mengenalnya dengan baik, tapi karena dalam sebulan saja ada 4-5 orang yang berhutang. Ia tidak peduli kapan dan dengan bentuk apa mereka akan mengembalikannya–uang, bingkisan, atau pesanan bakso untuk acara yang jumlahnya lebih sedikit dari nilai hutang mereka.
“Bagus, ‘kan, kalau banyak yang suka bakso kita. Banyak yang bilang kuah kaldu bakso kita enak,” ujar bapak waktu aku menegurnya ketika keuangan kami menipis lantaran banyak hutang yang dibayar tak sepadan.
Resep kaldu bakso itu. Itu satu-satunya warisan yang nanti akan bapak berikan kepadaku. Selagi bapak masih hidup, aku tidak pernah sekalipun meracik kaldu bakso seenak buatan bapak. Bapak juga melarang. Selain buang-buang bahan, bapak bilang aku jorok.
“Garam itu letakkan dalam kuali, jangan ditabur di lantai!”
“Cara potong dagingmu salah. Lihat, seratnya berceceran!”
“Kau lebih cocok mengurusi tikus-tikus got biar mereka tidak dekat-dekat dapur kita. Sana, beli racun tikus!”
Karena itu, tugasku adalah memeriksa bahan belanjaan dan menumpuk racun tikus di lemari dekat celengan ayam yang sudah tahunan tidak dibuka karena isinya masih sedikit. Boro-boro memasukkan uang ke dalam celengan. Baru genap sejuta, sudah ada lagi yang pinjam.Bapakku tidak pernah berpikir bahwa suatu saat kami akan butuh uang, dalam bentuk uang.
Ia sibuk berpikir untuk berbagi kebaikan yang katanya akan membawa rezeki pada keluarga kami yang tinggal beranggotakan dua orang ini. Bapak tidak pernah berpikir ia akan tiba-tiba kena kanker ginjal saat sedang membuat kaldu bakso pukul 2 dini hari dan baru ditemukan pukul 5 subuh, kemudian diusir dari rumah sakit karena tidak punya biaya rawat, lalu pergi meninggalkanku bahkan sebelum aku mengusahakan pinjaman ke bank.
Bakso Pak Mudadi tidak beroperasi hampir seminggu setelah itu. Aku kehilangan jejak banyak pelanggan yang belum membayar hutang lantaran bapak tidak pernah mencatat utang-piutang. Kehabisan uang dan belum mendapat pekerjaan. Yang paling parah, kehilangan satu-satunya warisan yang seharusnya untukku; resep kaldu bakso bapak. Tidak ditemukan catatan resepnya dimanapun.
Aku tidak punya sanak-saudara untuk bersandar, sehingga mencari pekerjaan kesana kemari adalah satu-satunya jalan.
Siang itu terik, tapi aku sedang ingin makan bakso. “Bakso Malang Cak Ar”, nama warung yang berdiri di sisi jalan utama kota. Tampak ramai dan penuh sesak, tapi aku hafal wangi kuah kaldu yang sedap. Warung itu pasti menyediakan bakso yang lezat.
“Cak, satu, campur.”
Mie kuning dan daun bawang ditindih bakso urat besar, dua buah bakso halus kecil, tahu putih dan tahu goreng, satu buah siomay rebus, seluruhnya disiram kuah kaldu mengepul. Pangsit goreng panjang berisi mie kuning dan bakso goreng ditambahkan, kemudian ditaburi bawang goreng sebelum dihidangkan di hadapanku.
Putihan–tanpa saus dan racikan apapun–kuseruput sesendok kuah kaldu yang aromanya mengundang nafsu makan.Bapak?Perlu dua-tiga suap untukku mencerna rasa yang familiar. Otot-ototku menegang, mengantarkan ledakan yang membuatku berdiri dan mata mencari sosok familiar. Tidak ada tanda-tanda bapak di manapun. Hanya sosok pria tua yang kerap menjadi langganan bapak meminjam uang tanpa pernah mengembalikannya.
—
Gerobak Bakso Cak Mudadi ramai riuh pelanggan yang hendak memesan atau mengurut pesanan untuk dibayar. Tidak kunjung mendapat pekerjaan, aku memutuskan untuk menjual bakso bapak dengan resepku sendiri. Masa bodoh dengan warisan bapak, resep kalduku yang baru jauh digemari orang.
Pak tua tak tahu malu itu mengaku telah mencuri resep kuah kaldu bapak ketika menemukan si pemilik sekarat di dapur. Jadi, aku memutuskan untuk menghancurkan karirnya–secara sehat. Bakso bapak yang melegenda ternyata memudahkanku mendapatkan kembali pelanggan. Sedikit demi sedikit, celengan kami penuh.
Oh, aku tidak perlu lagi membeli racun tikus. Dapurku sekarang bersih–tidak ada tanda-tanda satu ekor pun di sudut dan celah-celah.
Baca Juga: Kisah yang Tidak Kau Ketahui