“Your mother doesn’t have to change a bit for you to be free. Because the majority of your struggles today have a little or nothing to do with her.” – Difficult Mothers Adult Daughters by Karen C. L. Anderson.
Difficult Mothers Adult Daughters, Mengurangi Ekspektasi & Standarisasi
Tidak hanya di Indonesia, kalimat awal Karen di bab 2 pada bukunya yang berjudul Difficult Mothers, Adult Daughters, “One of the biggest patriarchal lies is that of the ‘perfect’ woman (and it, obviously, includes mothers and daughters)” menjelaskan bagaimana sistem patriarkis yang dibawa oleh para perempuan akan menyebabkan luka batin atau trauma intergenerasional turun temurun.
Karen menulis buku ini dari dua sudut pandang, seorang ibu dan seorang anak perempuan. Jika wanita yang melahirkan dan merawatmu adalah tipe ibu yang mendorong anaknya untuk selalu menjadi ‘Si Paling’ di antara banyaknya anak-anak berbakat, hal itu adalah satu bentuk ketakutannya di masa lalu yang belum bisa ibu kita terima sebagai kekurangan.
Karen menceritakan catatan kecil yang ia tulis tentang ibunya tidak sengaja ditemukan dan dibaca wanita yang melahirkannya itu. Sang ibu langsung marah, membentak dan memukulinya. Tanpa bertanya lebih dulu apa yang menyebabkan sang anak menyembunyikan perasaan tertekannya.
Jika ibu kamu terbuka dan menceritakan masa kecilnya, bersyukurlah ruang komunikasi untuk saling mengerti itu ada. Namun, bagaimana dengan mereka yang memiliki ibu dengan cara berkomunikasi pasif? Apa kabar anak-anak yang hanya diam memendam amarah dan tangis karena hanya bisa menunggu pengakuan dan permintaan maaf dari ibu mereka?
“Difficult Mothers” Bukan Berarti Seenaknya Menghakimi Seorang Ibu
Sub judul ini sama persis dengan Bab 17 dari buku Difficult Mothers Adult Daughters. Karen selaku penulis mengingatkan para pembaca, kalau kita harus bersyukur masih memiliki seorang Ibu dibandingkan anak-anak di luar sana yang sebatang kara.
Menurut saya, penulis buku ini sangat brilian dengan merangkai judul yang relevan dengan pembaca. Karen juga memasukkan berbagai pendapat dan diskusi terbuka dari beberapa perempuan yang berbagi cerita tentang pengalaman emosional bersama ibu mereka. Tentunya nama para storyteller ini anonim.
Berbekal pendidikan sarjana di bidang Ilmu Komunikasi, Marist College, Karen mengolah dan mempersuasi para pembaca lewat tulisannya untuk mengolah emosi dan berpikir rasional sebelum mengatakan, “Tapi, kan, seorang Ibu seharusnya enggak—”
Sebagai seorang anak perempuan, sesama wanita yang memiliki tekanan sosial serupa, tidak ada gunanya berusaha membuat peraturan baru dengan sang ibu. Kedua belah pihak sama-sama berjuang agar suara mereka didengar dan dimengerti.
Bagaimana bisa berharap ibumu mengerti jika ia saja tidak ingin berusaha mengerti? Di dalam buku Difficult Mothers Adult Daughters, Karen mengajarkan analogi baru bahwa kita bisa memilih untuk tidak frustasi dalam menjalani hubungan ibu dan anak perempuan, Matriarch Mare.
Baik Kamu “Difficult Mothers” atau “Adult Daughters”, Atur Hidupmu Sendiri
Matriarch Mare merupakan istilah bahasa Inggris mengacu pada kuda betina. Jenis kuda di dalam kawanan kuda betina lain yang memimpin hirarki sosial. Kata matriarch sendiri berarti memiliki pengaruh dominan pada kelompoknya. Jadi, jika dikorelasikan dengan hubungan antara ibu dan anak perempuannya yang mulai tumbuh dewasa, anak perempuan itu mampu mengambil keputusan sendiri tanpa harus mengurangi rasa hormat ke ibu mereka.
Mengapa kita bisa rela diatur atau menurut perintah ibu yang sebenarnya tidak kita inginkan? Dikarenakan sejak kecil kita mematuhi setiap keinginan ibu, maka semakin usia bertambah, kita turut membangun keyakinan bahwa segala emosi, keinginan ibu yang belum tercapai dan bagaimana sudut pandang beliau dengan perilaku anaknya adalah tanggung jawab yang harus diperbaiki.
Kesimpulan yang Karen tulis pada bab tersebut yakni, ketika anak-anak perempuan berhenti membiarkan sang ibu mengontrol perasaan mereka, secara langsung anak-anak perempuan itu juga akan berhenti merasa harus bertanggung jawab menjaga perasaan ibu mereka setiap saat.
Difficult Mothers Adult Daughters Mengajarkan untuk Hargai Perasaan dan Emosi Diri Sendiri

Selain memasukkan opini dan pengalamannya, Karen juga mengutip berbagai pemahaman dari buku-buku penulis lain. Salah satunya, The Mind-Body Code yang ditulis oleh Dr. Mario Martinez. Terdapat istilah dari buku kutipan itu yakni, field of honor—suatu bentuk kehormatan, seringkali datang dari keluarga.
Setiap suku adat maupun keluarga yang memiliki tradisi turun-temurun, akan langsung menuding dan menyalahkan salah satu keturunan yang telah merusak prinsip kehormatan yang telah lama dibangun itu. Tuduhan yang memojokkan seperti itu akan membuat seseorang malu dan menderita, jadi orang tersebut harus membangun kembali bentuk kehormatan baru.
Pada bagian akhir bab 21 Difficult Mothers Adult Daughter, Karen menulis tidak apa jika pembacanya merasakan amarah (righteous anger). Merasakan, bukan bertindak karena amarah itu. Semua ibu dan anak-anak perempuan telah memiliki kehormatan masing-masing di dalam dirinya, dan marah jika ada salah satunya mempermalukan pihak lain adalah hal wajar.
Emosi marah itu menjaga seorang anak perempuan agar tidak menghakimi diri sendiri ketika ibunya hanya menuding kesalahannya di publik. Dari belajar merasakan amarah itu, mengontrolnya, dan tidak melakukan hal sama ke ibu kita adalah aspek yang sangat memberdayakan bagi hidup anak perempuan itu sendiri dan mungkin wanita-wanita lain di sekelilingnya.
Baca juga: Review Buku Perempuan yang Dihancurkan: Apakah Menjadi Perempuan Adalah Sebuah Masalah?