Pena itu masih belum mengering, secarik kertas itu sudah penuh dengan tulisan-tulisan. Malam itu sang penulis masih terus bekerja, berusaha untuk melahirkan banyak kisah baru. Derit kursi roda mulai terdengar, perlahan gadis tersebut mulai mendekati ayahnya yang masih sibuk dengan kertas dan penanya.
“ Lembur lagi? Katanya besok mau pergi.”
Terkaget dengan suara putrinya tersebut, spontan ia langsung meletakkan penanya dan menoleh kebelakang. Dengan wajah yang masam, putrinya tersebut menatap. Rasanya sudah menjadi kebiasaan, jika putrinya tersebut masih belum menegurnya, ia tidak akan beranjak ke tempat tidur.
“ Apa besok perlu aku bangunkan?”
“ Ah tidak, ayah bisa bangun sendiri.”
“ Apa ayah sudah menyiapkan perbekalannya?”
Ini merupakan perjalanan pertama penulis tersebut. Selama hidupnya ia hanya menghabiskan waktu di ruang kerjanya dan melahirkan banyak sekali kisah menarik. Berbeda dengan putrinya yang menjadi seorang petualang. Ia sering ditugaskan oleh kerajaan untuk melakukan ekspedisi ke berbagai macam tempat. Ia sangat menyukai pekerjaannya tersebut hingga tragedi menimpanya 5 tahun yang lalu.
Ia terluka berat ketika menjalankan tugas pengiriman logistik ke sebuah desa yang baru saja terkena bencana. Dalam perjalanannya tersebut tiba-tiba terjadi longsor susulan, ia memang berhasil menyelamatkan banyak orang berkat keputusannya yang berani, tapi sebagai gantinya ia harus mengorbankan kedua kakinya. Meski begitu ia tak terlihat sedih sama sekali. Di balik meja kasir, ia selalu tersenyum ramah kepada para pelanggan yang mengunjungi toko buku milik ayahnya tersebut.
“ Setidaknya sekarang aku bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan ayah.”
Begitulah kalimat yang ia katakan setelah berhenti menjadi seorang petualangan. Selama menjadi petualang, ia sangat jarang ada di rumah, maka dari itu ia ingin menebus segalanya dan menghabiskan seluruh sisa hidupnya untuk menemani sang ayah. Di sisi lain, ayahnya benar-benar tak mengerti tentang putrinya tersebut. Setiap hari ia hanya mengurung diri di ruang kerjanya, ia tak pernah menyisihkan waktunya sedikitpun untuk putrinya.
Ia sudah berjanji kepada mendiang istrinya untuk menjaga putrinya tersebut sepenuh hati, namun apa? Ia malah tidak pernah memperhatikan putrinya tersebut dan terus berkutat dengan pena dan kertas. Semenjak kejadian naas yang menimpa putrinya, perlahan ia mulai sadar. Putri kecilnya tersebut kini sudah beranjak dewasa, suasana hening di rumahnya kini mulai terasa ramai dengan kehadiran putrinya. Kini ia tak lagi makan malam sendirian, perlahan tubuhnya pun terasa lebih bugar karena setiap hari ia bisa makan secara teratur dan tentunya ia bisa menikmati makanan lezat yang dimasak putrinya.
Kini ia mulai menyesali perbuatannya, ia menyesal tidak pernah meluangkan waktunya tersebut untuk sekedar mengobrol dengan putrinya. Maka dari itu, untuk menebus kesalahannya ia mempersiapkan sebuah hadiah spesial untuk putrinya tersebut.
Tepat di hari ulang tahunnya ia berencana untuk memberikannya bunga langka yang hanya tumbuh satu tahun sekali ketika musim dingin. Namun untuk bisa memetik bunga tersebut, ia harus mendaki sebuah gunung bersalju yang medannya sangat berat. Untuk bisa melakukan hal tersebut, ia sudah mempersiapkannya selama satu tahun penuh.
Ia menghubungi beberapa teman petualang putrinya tersebut, ia meminta bantuan kepada mereka untuk melatih dirinya agar bisa mendaki gunung tersebut. Pada akhirnya ia melakukan latihan tersebut secara diam-diam, putrinya tersebut sama sekali tak mengetahui rencananya. Hingga hari dimana ia sudah siap untuk mendaki gunung tersebut datang.
Dengan alasan bertemu dengan pihak penerbit dari kerajaan tetangga, ia pun berangkat ke gunung tersebut. Angin berhembus sangat kencang, tumpukan salju selalu saja menghalangi jalan yang ia lalui. Seolah tak merasa dingin sedikitpun, ia terus melangkah dengan penuh semangat mendaki gunung yang curam tersebut. Sebening kristal dan memancarkan kilauan penuh pesona, bunga langka tersebut akhirnya berhasil ia dapatkan.
Dengan sisa tenaga yang ada, ia bergegas pulang. Rasa lelah yang ia rasakan seolah menghilang ketika ia melihat putrinya tersebut duduk manis menanti kepulangannya. Begitu ia membuka pintu, ia langsung disambut dengan senyuman hangat putrinya tersebut.
“ Semoga kau senang, maaf ayah tak pernah punya waktu untukmu.”
Kilauan bunga tersebut memenuhi ruangan. Putrinya terdiam cukup lama ketika melihat bunga tersebut, ia kemudian mulai meneteskan air mata dan memeluk ayahnya dengan sangat erat. Semalan penuh, ia memeluk erat bunga pemberian ayahnya tersebut.
Pagi telah datang, musim dingin telah berlalu. Dengan senyum penuh kepuasan, sang penulis tersebut memandangi meja makan yang kini sudah penuh dengan beberapa makanan sederhana untuk sarapan. Mulai hari itu ia bertekad untuk menjadi sosok ayah yang lebih baik, ia ingin lebih akrab dengan putrinya tersebut. Menyadari bahwa putrinya masih belum keluar, ia kemudian pergi ke kamarnya dan berniat untuk mengajaknya sarapan.
Sembari memantulkan sinar mentari pagi, bunga tersebut masih di dalam pelukannya. Penulis tersebut mulai tersenyum ketika melihat putrinya yang masih tertidur pulas, tapi senyuman tersebut tak berlangsung lama. Senyuman tersebut langsung menghilang ketika ia melihat warna bunga tersebut berubah jadi merah. Siapa yang menyangka, pagi hari di akhir musim dingin tersebut menjadi akhir kebersamaan mereka.
Senyumannya yang lembut masih terukir dengan jelas di wajahnya ketika ia pergi meninggalkan ayahnya tersebut sendirian untuk selamanya. Pergolakan besar terjadi di dalam hatinya ketika menerima bunga tersebut dari sang ayah, di satu sisi ia tak ingin mengecewakan ayahnya yang telah susah payah membawakan bunga tersebut, namun disisi lain ia merasa sangat tersakiti karena ia sudah tak bisa berpetualang dan memetik bunga itu sendiri.
Rasa sakit tersebut terlalu mendadak, rasa sakit tersebut terlalu besar , hingga pada akhirnya ia memilih kematian untuk meredakan rasa sakit yang ada. Sang ayah yang tak mengerti apa-apa hanya bisa menangisi kepergian putrinya tersebut. Kini penulis tersebut sendirian, takkan ada lagi sosok gadis yang akan menegurnya untuk tidur. Dalam penyesalan mendalam, ia menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabadikan putrinya tersebut dalam berbagai kisah yang ia tulis dengan pena dan kertasnya.
.