What if you love the same person as your best friend? Jika itu aku, maka aku akan memilih untuk mundur. Tidak terlalu suka dengan konflik dalam kehidupanku dan cenderung untuk menghindarinya. Tapi…, bagaimana jika orang yang kami sukai ternyata memilihku?
***
“Jadinya ini tinggal diaduk?” tanya Askara dengan sendok di tangannya.
Aku menggelengkan kepala, “Itu kan tadi udah diaduk pakai mixer. Tinggal dituang ke loyangnya.”
Lelaki berambut gondrong yang dicepol itu menganggukkan kepalanya, “Jadi sendoknya buat nyerokin adonannya?” tanyanya sembari menuangkan adonan brownies cokelat itu ke loyang stainless persegi.
“Kamu beneran nggak pernah ngadon kue gini, ya?” Aku yang baru selesai mencuci mixer berjalan mendekat ke arahnya, memastikan apa yang sedang dilakukan pemuda itu sudah benar.
Dia menganggukkan kepala, “Kalau bukan karena Zia minta dibikinin kue ulang tahun, gue sih ogah masuk dapur,” katanya, “bukannya gimana, ya, Ren. Gue sayang aja bahan makanannya kebuang kalau gagal.”
Zia. Nama perempuan itu tentunya sudah tidak asing lagi bagiku. Bahkan, aku mengenal Zia lebih dulu daripada Askara mengenalnya. Dan aku mengenal Askara lebih dulu daripada Zia mengenal lelaki itu. Dan aku…, lebih dulu menyukai lelaki itu daripada Zia menyukainya.
Namun, di sinilah aku sekarang. Sibuk membantu lelaki itu membuat kue ulang tahun untuk Zia. Teman dekatku itu meminta langsung untuk dibuatkan kue spesial di hari ulang tahunnya sebagai hadiah.
“Tapi, Ren. Kalau lo bisa bikin kue gini, kenapa lo jarang banget bikin kue, ya?” tanyanya.
Aku menatap lelaki yang masih sibuk menuang sisa adonan dari mangkok mixer ke loyang. Askara memang cukup terkenal di kelas kami. Selain tampang kaukasianya yang menarik perhatian, sifatnya yang gentle membuat siapa pun betah dengannya. Aku dan Zia adalah salah dua orang yang tertarik dan berhasil dekat dengannya.
“Makan banyak waktu. Lagian gue juga eneg kali kalau makan brownies terus,” celetukku.
Mendengar jawaban itu, lelaki itu hanya terkekeh, “Kalau gitu lo bisa bikinin buat gue. Gue kan belum pernah cobain kue buatan lo.”
“Lha, ini kan lo bakal nyobain.”
Selesai dengan adonannya, Askara menaruh bekas mangkok dan sendok di wastafel dan langsung mencucinya. Dari awal, aku sudah mengatakan bahwa aku tidak suka dengan tumpukan alat masak yang kotor sehingga aku terbiasa langsung mencuci alat masak setelah digunakan. Dan seperti Askara biasanya, dia tidak pernah membuat orang kecewa dengan sikapnya.
“Ini mah buat Zia. Bukan buat gue,” jawabnya.
Lagi, Zia. Aku menghela napas pelan ketika mendengar nama itu lagi. Setiap kali Askara menyebutkan nama itu, seolah menyadarkanku bahwa aku dan temanku menyukai orang yang sama. Dan di saat yang sama, aku tahu bahwa aku jauh berada di bawah Zia.
Semuanya tentu masih segar dalam ingatanku. Saat Askara memilih untuk mengantar Zia pulang–sore itu sedang hujan dan orderan ojek online kami baru saja ditolak–daripada aku. Atau saat lelaki itu membukakan tutup botol air mineral untuk Zia. Dia juga bolos kuliah untuk merawat Zia yang sedang diare. Aku kalah telak! Bahkan ketika aku tahu bahwa Zia hanya take him for granted, aku tidak berani untuk selangkah mendahului gadis itu dan memperlihatkan usahaku pada Askara. Aku tidak suka konflik dengan siapa pun, terlebih temanku sendiri.
“Lo bela-belain buat kue buat Zia gini, punya maksud tersendiri, ya? Lo mau modusin Zia?” akhirnya pertanyaan itu keluar dari kedua belah bibirku.
Askara yang sedang mencuci sendok langsung menghentikan kegiatannya, kontan menoleh kepadaku, “Maksud tersendiri gimana? Kan Zia sendiri yang minta dibuatin kue. Ya, gue sebagai teman yang baik bakal ngabulin itu selagi masih bisa gue kerjain.”
Sebagai teman…, sebagai teman…, sebagai teman? Setelah apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri betapa dia sangat perhatian pada Zia? Dan itu semua hanya perlakuan pada seorang yang dianggapnya teman?
“Sebagai teman? Lo cuma anggap Zia teman?” tanyaku tak percaya.
Pemuda itu menganggukkan kepalanya, “Terus apa? Lo mikir gue suka sama dia, ya?”
Sontak aku menganggukkan kepala, “Bukannya keliatan jelas? Satu kelas juga setuju kalau lo sama Zia tuh lebih dari teman. Lo care banget sama dia. Udah kayak orang pacaran.”
Askara menarik alisnya naik, kontan dahinya ikut berbukit, “Serius, Ren? Lo mikir gue suka Zia?” tanya lelaki itu yang sudah bersedekap di hadapanku. Dahinya masih berkerut menatapku dengan tatapan menuntut.
“Bukannya iya?”
“Jadi, apa yang gue lakuin selama ini ke lo nggak ngeliatin kalau gue naksir sama lo, Ren?”
Hah?!
Aku terperangah, “Ma-maksudnya?”
“Ngapain gue ngabisin waktu di dapur, capek-capek bikin kue yang bahkan gue nggak bisa bikinnya, kalau bukan karena mau ngabisin waktu bareng elo, Ren?”
“Hah?!”
***
Baca Juga: Warisan Kaldu Bakso Bapak