Selamat datang di masa depan. Mungkin di masa saat generasi Z sudah punya cucu dan cicit. Masa ini penuh dengan perubahan. Akhirnya, setelah berabad-abad, negara kita bisa bersaing dengan Barat, yang sebenarnya tidak pantas lagi dijadikan saingan. Mereka sudah membusuk dengan liberalisme mereka yang sekarang terlihat begitu rimba dan uncivilized.
Lihatlah negara ini sekarang! Aku, seorang aparat sepuh, di usia ke 40 ini bisa duduk di sebuah trotoar, di tengah perkotaan padat tanpa terganggu polusi. Sakit bagiku membayangkan masa lalu, ketika mobil dan pabrik mengeluarkan asap-asap penyakit.
Mobil-mobil listrik yang hening lewat dengan teratur. Sama sekali tidak menggangguku yang tengah menghisap rokok elektrik. Setelah asap bersih berbau croissant terhembus untuk kesepuluh-kalinya, aku bangkit untuk pergi ke kantor 7 lantai yang terletak di seberang jalan.
“Siang Pak!” sapa seseorang yang baru kulihat wajahnya.
“Hmmm, anak baru ya?”
“Wartawan Pak. Saya sudah izin sama bapak yang di sana, saya mau wawancara sama Bapak.”
“Perihal?” tanyaku. Meski media dan pemerintah sudah begitu akur belakangan ini, klarifikasi tetap penting kan? Siapa tahu ada media konspirasi yang ingin mengganggu ketentraman di masa emas negara ini.
“Kota wisata ini Pak!” jawabnya tanpa ragu.
Smart City of Indonesia atau yang biasa kami sebut Smasin adalah nama dari kota ini, daerah luar Jawa paling terkenal nomor dua setelah Bali. Sudah lama daerah ini menjadi kota wisata teknologi. Menjadi kota pertama di Indonesia yang listriknya seratus persen bersumber dari panel surya. Jawaban dari rumitnya masalah batubara di masa lalu. Untunglah generasiku sadar.
“Kita bicara di ruangan saya aja, ya!” Sengaja ku lempar senyum yang ramah, melihat lawan bicaraku sepertinya wartawan baru. Kasihan kalau aku terlalu tegas.
Si Wartawan merogoh sakunya, menyadari hal yang dia lupakan, dia mengambil kartu Identitas jurnalisnya, lalu mengalungkannya ke leher.
Dari media arus utama ya, oke aku layani.
Laki-laki umur 20 tahunan itu mengeluarkan sebuah perekam suara, lalu menyimpannya di meja. Sambil fokus pada catatannya di sebuah buku kecil, dia mulai menatapku sambil tersenyum canggung.
“Boleh saya tahu nama lengkapnya Pak?”
“Ah, masa belum tahu. Kan sudah banyak media yang liput saya.” jawabku dengan nada bercanda. Dia tidak begitu menanggapi candaanku, tipikal anak muda.
Setelah kusebut namaku, dia kembali tersenyum canggung, “keamanan di sini bagaimana Pak, akhir-akhir ini?”
“Aman. Kita masih jadi kota dengan tingkat kecelakaan lalu lintas terkecil di dunia. Itu tuh dengan fakta kalo di sini kota wisata. Ahli-ahli angkatan saya sudah pintar-pintar, bisa buat AI yang sangat minim error. Jadi lalu lintas bisa otomatis, tapi tetap aman.”
Dia mencatat sejenak, “kalau tingkat kriminalitas bagaimana Pak?”
“Masalah pencopetan masih jadi kejahatan utama di sini, tapi data kami menunjukkan minggu ini, kasusnya sudah menurun 3%, disusul pelaku tertangkap juga naik sekitar 9%. Angka yang cukup lumayan lah.”
“Target utamanya siapa Pak, mayoritas?”
“Yaa, wisatawan.”
“Pelakunya ini motifnya apa saja sih? Kok bisa berbuat kriminal gitu. Apa kesejahteraan? Atau apa?”
Menarik.
Bisa dipastikan, masyarakat di sini sejahtera. Enam puluh persen masyarakatnya sejahtera, lapangan pekerjaan di sini luas, dimulai dari pemandu wisata sampai pedagang asongan sejahtera di sini.
“Mayoritas pelaku itu dari luar Sumatera. Percaya atau tidak ya, semua orang di sini sejahtera. Pedagang asongan saja di sini untung, keuntungannya bisa kalahin pekerja kantoran di Jawa sana.”
Ini masa depan. Kita jadi Negara pertama yang disinggung mengenai energi surya. Kapan lagi kita menjadi pusat? Suplai panel surya dan baterai menjadi bisnis utama di sini, salah satu top dunia.
“Kalau kesejahteraan masyarakat yang di desa-desa itu bagaimana ya Pak?”
“Kok nanya ke saya, ya?” tanyaku heran. Seingatku topiknya adalah keamanan, dan aku pembicara yang cukup kompeten untuk itu. “Itu kan harusnya tanya ke pihak yang bersangkutan.”
“Oh maaf Pak. Tapi, soal di batas kota itu, kok ada tembok tinggi ya Pak? Terus bau juga sekitar sana itu.”
“Ini sudah out of context kayaknya.” aku bingung. Bicara apa orang ini?
“Emm, saya bertanya soal keamanan di batas kota, itu bagaimana ya Pak?” Dia masih saja fokus, tidak ada keraguan di matanya.
“Kurang lebih sama seperti di sekitar sini.”
“Saya dapat data Pak, jadi di daerah batas itu, rawan–”
“Urusannya dengan saya apa!?” Sedikit kunaikkan suaraku, dengan harapan orang itu sadar. “Saya aparat keamanan!”
Dia masih teguh. Wajahnya tidak panik, tangannya tidak bergetar sama sekali. Dia pasti kesurupan sesuatu!
“Dengar saya dulu Pak!” tegasnya, tanpa berteriak. “Jadi, di daerah sana rawan sekali penangkapan. Sudah ada 8 kasus. Tapi, belum jelas tindak kriminalnya apa. Keluarga tersangka bahkan tidak dapat info sama sekali.”
“Saya tidak tahu!”
“Bapak punya datanya kan Pak? Untuk kejelasan kasus mereka. Soalnya ini jadi ke mana-mana Pak curiganya.” Wartawan itu masih keukeuh meminta penjelasanku.
Aku pun memintanya menunggu. Dengan masih kebingungan, dan sedikit panik. Aku mengambil sebuah buku besar berisi laporan-laporan penangkapan. Sesampainya di ruangan yang hanya kami berdua, kubanting sedikit dokumen tersebut ke meja.
Emosi sudah mulai menguasaiku. “Ini 70% penangkapan kejahatan jalanan, ini data satu tahun, sampai bulan kemarin. Untuk data bulan ini masih belum disatukan.”
“Tidak apa-apa Pak. Lima kasus penangkapannya terjadi sekitar dua bulan lalu. Sisanya bulan-bulan sebelumnya.”
Lantas dia fokus menyesuaikan datanya dengan data kantor. Kami tidak bicara sangat lama, seringkali aku pun meninggalkannya sendiri. Menyeduh kopi, meminumnya di depan kantor, duduk di lantai sambil melihat mobil lewat.
Aku masih bingung dan kesal. Sederhana saja, aku hanya kaget ketika ditanya soal kesejahteraan masyarakat desa. Aku takut berita yang ia tulis dibelokkan sedemikian rupa, sehingga kredibilitasku turun drastis.
“Pak, sudah. Bisa kita bicara lagi?” Si Wartawan menepuk pundakku dari belakang. Aku pun kembali ke ruanganku.
“Jadi gimana? Ketemu?”
“Tidak ada Pak.”
“Berarti itu data yang kamu bawa palsu–”
“Tidak Pak. Datanya asli, saya dan tim saya sudah riset. Enam dari delapan pelaku itu aktivis lingkungan, kemudian–”
“Lingkungan apa?! Kita ada di masa depan! Ga ada polusi, energi terbarukan, apa lagi?” Orang ini memang sengaja memancing emosiku. Dia memang ingin menjatuhkan kredibilitas aparat di sini… tidak, dia ingin menjatuhkan kesan kota ini. Kota ini mau dia beritakan dengan buruk.
“Energi terbarukan bukan berarti seratus persen ramah lingkungan, Pak!” Dia mengeluarkan omong kosongnya. Seperti banyak anak muda yang pernah aku temui.
“Kita bebas dari batubara loh, Dek! Kamu nonton Sexy Killers gak? Film itu Bertahun-tahun membusuk di YouTube. Sampai generasi saya sadar, cari energi alternatif, jadiin film itu besar lagi, diangkat lagi. Kamu mau balik lagi ke batubara? Tambangnya, PLTU-nya, isu lingkungannya besar! Pernah ke Kalimantan gak! Lihat bekasnya!”
“Pernah Pak!” tegasnya, “Bapak pernah ke batas kota? Bapak pernah lihat ke balik tembok tinggi itu? Itu juga tambang Pak! Apa bedanya?”
Aku terdiam, mematung.
“Kita bebas batubara. Lalu eksploitasi timbal, timah hitam itu! Bahan baku baterai buat nyimpen energi surya itu! Orang-orang yang Bapak… yang teman-teman Bapak tangkap ini, aktivis yang ngomongin itu Pak!”
Anak muda ini lagi-lagi bicara omong kosong. Selain itu, dia memang cari gara-gara. Dia memang mau motret kota ini dari sisi yang buruk. Kenapa sih? Wartawan begini harusnya udah punah. Kita di masa depan. Kita juga udah sejahtera.
“Timbal itu beracun loh, Pak. Orang-orang daerah batas itu banyak yang gagal ginjal.”
“Itu bukan salah saya!”
“Tapi Bapak punya peran juga! Bapak yang bungkam mereka!”
“Apa urusanmu?!”
“Kakak saya Bapak tangkap juga! Padahal dia bukan aktivis!”
Oh, pantas saja! Dia wartawan yang memihak. Tidak independen, subjektif, wartawan kotor. Ternyata sejak awal motifnya begitu.
“Sudah bertahun-tahun loh Pak orang-orang di batas itu demo minta keadilan. Mereka kena penyakitnya, kita cuma dapat enaknya aja!” Dia terus membual, toh yang dia bicarakan tidak ada beritanya kok. Aku sudah tidak mendengarkannya lagi, aku tidak mau bicara dengan orang yang sejak awal niatnya buruk.
Tanpa sadar, aku sudah memegang pistol. Ah, tidak bisa nyaleg kalau begini!